Forum Tokoh Peduli Malang menyelenggarakan diskusi Muslim Intelektual Club dengan mengambil tema ‘Islam vs Radikalisme’. bertempat salah satu aula di Kota Malang, (25/7/2019).
Acara ini dihadiri lebih dari 100 orang yang terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat serta intelektual setempat. Nampak hadir diantaranya: KH. Mahmudi Syukri, (Pengasuh Pondok Pesantren Darul Muttaqien Kota Batu), Gus Azizi Fathoni* (Khadim Kuttab Tahfizh al Utruzah Kota Malang), KH. Muhammad Alwan, M.Ag, (Direktur Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Al Ulya Kota Malang), KH. Drs. Muhammad Sya’roni (Tokoh Intektual Muslim kota Malang), DR. Rudy Wahyono (Tokoh Intelektual Bidang Ekonomi dari Kota Malang), Kyai Drs. Lukman Hakim, (Pimpinan Majelis Ta’lim Tombo Ati dan Praktisi Ruqyah Syar’iyyah Malang), Ustad Ahmad Agus S. (Tokoh Muda Intelektual Muslim kota Malang).
Sesi pemaparan materi pertama disampaikan Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum., guru besar Universitas Diponegoro. Diawal paparannya Prof Suteki mengajak para Tokoh Peduli Malang agar jangan sampai diam, jadi harus terus bergerak supaya Islam tetap eksis sesuai kemampuan kita masing-masing.
Selanjutnya, Prof Suteki menyampaikan pendapatnya bahwa istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Radikalisme lebih nampak sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak yang memiliki otoritas.
Prof Suteki melandasi pendapatnya dengan UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan UU terorisme, hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan: deradikalisasi dan kontra Radikalisasi. (Pasal 43A ayat 3). Dan secara hukum berarti istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara jelas dan lengkap. Keadaan yang berbeda kita bandingkan dengan istilah terorisme yang telah memiliki definisi baku.
Di dalam ketentuan pasal 1 ayat (2) UU No. 5 tahun 2018 dijelaskan bahwa : “Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan”.
Prof Suteki menegaskan ketika definisi secara hukum masih kabur (obscure), maka nomenklatur radikalisme menjadi sangat seksi untuk dimanfaatkan sebagai alat rekayasa penyelamatan kepentingan atau kekuasaan (as a tool of interest engineering) dan cenderung sebagai alat gebuk untuk pihak-pihak yg berseberangan dengan penguasa itu, tegasnya.
Hadir sebagai pemateri kedua yang berapi-api saat menyampaikan materi beliau Ahmad Khozinudin, SH., Ketua LHB Pelita Umat. Khozinudin diawal menegaskan bahwa Radikalisme itu isu politik yang meminjam legitimasi hukum. Artinya, ada motif politik dibalik digulirkannya isu radikalisme. Sementara, hukum hanyalah alat untuk melegitimasi kebijakan politik yang meminjam sarana isu radikalisme, terangnya.
Khozinudin menjabarkan Motif politik dibalik isu radikalisme adalah upaya terstruktur yang menggunakan dan/atau meminjam kekuasaan negara, untuk membungkam atau setidaknya menghambat laju kebangkitan Islam. Motif ini dibungkus kebijakan hukum, yang dijadikan sarana untuk mengkriminalisasi elemen pergerakan Islam dalam kancah interaksi sosial ditengah masyarakat. Kebangkitan Islam yang dimaksud adalah kebangkitan Islam politik, bukan sekedar Islam spiritual. Yang dihambat oleh rezim adalah perkembangan dan kebangkitan gerakan Islam yang menginginkan syariat Islam diterapkan secara kaffah, baik dalam kehidupan pribadi, kelompok masyarakat hingga bernegara.
Ketika ditanya oleh salah satu tokoh tentang siapa dibalik bomingnya istilah radikalisme? Khozinudin menjawab: Aktor dibalik isu radikalisme adalah kapitalisme barat. Sementara, rezim saat ini hanya mengimpor dan menjajakannya kepada masyarakat, dengan tujuan untuk melindungi kekuasaannya yang rapuh. Radikalisme adalah babak baru pertarungan politik ideologi kapitalisme global melawan Islam, setelah gagal menjual isu terorisme.
Diakhir paparannya Khozinudin mengajak agar radikalisme ini harus dilawan. Karena isu radikalisme ini bukan isu penegakan hukum dari potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Radikalisme murni isu politik yang dimainkan rezim untuk menutupi kebobrokan rezim sekaligus untuk membungkam kebangkitan gerakan Islam. Jadi Islam itu bukan radikal, dan radikalisme itu bukan Islam, pungkasnya
Nampak tidak ada kursi kosong dalam diskusi yang berlangsung sampai sekitar jam 22.30 itu. Diskusi ini berjalan ‘gayeng’ diakhiri dengan doa yang dipimpin KH Lukman Hakim, Pimpinan Majelis Ta’lim Tombo Ati dan Praktisi Ruqyah Syar’iyyah Malang. []
Sumber: shautululama.co