Forum Doktor Muslim: Moderasi Agama Bawa Kepentingan Neoimperialisme
Mediaumat.id – Isu moderasi agama yang digulirkan rezim dinilai bukan sekadar propaganda teologis tetapi juga membawa kepentingan politik neoimperialisme.
“Moderasi agama atau beragama dengan demikian, bukan hanya soal propaganda teologis namun juga membawa kepentingan politik neoimperialisme,” ujar Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. kepada Mediaumat.id, Rabu (29/12/2021).
Pasalnya, misi dari proyek moderasi berikut paham sekularismenya, menurut Ahmad, memang untuk mengadang kebangkitan ideologi Islam yang secara historis, pernah mempersatukan negeri-negeri Muslim di bawah naungan Daulah Islam. Bahkan mampu menjadi mercusuar dan pemimpin dunia ketika itu.
Sayangnya, kata Ahmad, sekularisme dengan ideologi kapitalismenya masih mendapatkan tempat di tengah masyarakat Muslim saat ini. Padahal sebenarnya, negeri ini sedang menghadapi permasalahan fundamental dengan berbagai kasus korupsi, kolusi maupun nepotisme.
“Muncul juga di negeri ini para politisi pengkhianat yang justru pro penjajah dibandingkan pro kepada bangsanya sendiri dengan terus membangun kemesraan dengan mereka demi pundi-pundi uang,” tambahnya.
Belum lagi narasi-narasi pemimpin pembohong tentang kesejahteraan rakyat serta angka kejahatan yang makin meningkat, dekadensi moral atau pun legalisasi zina atas nama HAM.
Dalih
Indikator lain, upaya mengadang perjuangan Islam kaffah, menurut Ahmad, di antaranya adalah kriminalisasi ulama, aktivis dakwah, penangkapan ulama berdalih terorisme, pembubaran pengajian, pemberian stigma kepada para penganjur syariat Islam, pembungkaman ormas Islam hingga pembelengguan kebebasan berserikat, berkumpul dan hak menyatakan pendapat.
Sehingga, korban terbesar dari narasi terorisme tentu umat Islam itu sendiri. “Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme,” nukil Ahmad sebagaimana pernyataan seorang jurnalis Australia Jhon Pilger.
Narasi moderasi sebagai upaya menyerang Islam pun, menurut Ahmad, korelasinya bisa ditemukan dalam buku karya Ceryl Bernard yang berjudul Civil Democratic Society terbitan Rand Corporation. Di sana dikatakan umat Islam dibagi menjadi empat golongan, yakni Muslim fundamentalis, tradisionalis, moderat (liberal) dan sekuler.
Berangkat dari situ, jelas Ahmad, berarti umat Islam hari ini sedang menghadapi berbagai ancaman dan tantangan. Baik dari internal maupun eksternal. “Ancaman paling serius adalah ghazwul fikri (perang pemikiran). Sebuah strategi baru yang digunakan untuk menghancurkan Islam,” tuturnya.
Namun sayangnya, lagi-lagi umat Islam banyak yang tak menyadari. Padahal genealogi perang pemikiran tersebut telah berlangsung sejak tiga abad hingga sekarang.
Tak sama
Secara epistemologi, sambung Ahmad, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama adalah kekacauan berpikir. “Tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat. Sementara propaganda moderasi agama adalah racun akidah,” tegasnya.
Ia juga mengatakan, pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham dan pastinya akan gagal pula. Hingga setidaknya, umat dituntut bersuara demi membungkam sesat pikir tersebut.
Indikator lainnya, masih berkenaan dengan narasi yang terus dipropagandakan, menurut Ahmad adalah berkenaan dengan komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi. “(Padahal) Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan,” sanggahnya.
Ahmad mengatakan, selain agama yang penuh damai, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta, Islam juga agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain. “Tanpa embel-embel moderat sekalipun,” imbuhnya.
Langkah di 2022
Sebagai umat terbaik yang hanya takut kepada Allah SWT, kaum Muslim hendaknya menimbang langkah perjuangan di tahun 2022 setidaknya tiga dimensi.
Pertama, dimensi normatif yakni menyadarkan umat Islam bahwa mereka adalah bersaudara, maka haram hukumnya bercerai berai. Begitu juga dengan keyakinan bahwa janji Allah yang akan menjadikan Islam kembali memimpin peradaban dunia adalah pasti.
Kedua, dimensi empirik. Umat Islam di seluruh dunia dengan jumlah lebih dari 1,7 miliar, kata Ahmad, sesungguhnya memiliki kekuatan besar apabila mau bersatu padu. “Negeri-negeri Muslim juga merupakan negeri yang kaya akan SDM dan SDA yang bisa menjadi faktor penting bagi tegaknya peradaban,” tambahnya.
Ketiga, dimensi historis berikut kemajuan-kemajuannya yang luar biasa telah membuktikan negeri-negeri Muslim pernah dan bisa bersatu di bawah naungan Daulah Islam.
Dengan demikian, kaum Muslim harus semakin cermat dengan narasi moderasi agama yang dikaitkan dengan radikalisme sebagai upaya menyerang Islam. “Maka waspadalah!” pungkasnya.[] Zainul Krian