FORKEI: Backing dalam Pertambangan Hal Biasa

Mediaumat.id – Ketua Forum Kajian kebijakan Energi (FORKEI) Agus Kiswantono mengatakan backing mem-backing (saling menyokong) dalam pertambangan itu biasa.

backing mem-backing dalam pertambangan itu biasa karena pertambangan itu besar, bukan sesuatu yang bisa disembunyikan serta memobilisasi alat-alat berat,” tuturnya dalam Kabar Petang: Ada Tambang Ada Penderitaan? melalui kanal You Tube Khilafah News, Kamis (1/12/2022).

Menurutnya, sokongan paling kuat adalah undang-undang. “Peraturan Perizinan atau Surat Izin Penambangan Batuan terkait aktivitas penambangan itu akan menjadi legal manakala di-backup oleh peraturan yang ada baik tingkat nasional maupun lokal,” jelasnya.

Perizinan ini, sambungnya adalah legitimasi aktivitas terkait penambangan. “Kalau dari sisi regulasi mampu memberikan keamanan kenyamanan kemudian menjadi peraturan, akan mengelaborasi seluruh aspek maka ini akan menjadi suatu hal yang bagus,” ungkapnya.

Maksud bagus ini, lanjutnya, komplain adanya kerusakan lingkungan, komplain adanya kerusakan sosial, komplain adanya ketidaksetaraan antara penduduk lokal yang itu dilewati oleh truk kemudian berefek pada jalan-jalan yang ada di sekitarnya itu tidak akan terjadi.

“Tapi seringkali terjadi pembiaran dan lolos dari kontrol aparat karena ada ilegal undang-undang. Aparat justru menjadi penyangga (backing) sehingga eksploitasi besar-besaran terjadi, baik di level lokal maupun nasional,” tukasnya.

Semakin backing besar, lanjutnya, akan semakin menambah pengamanan operasional. “Kekayaan kita yang fantastis sampai ribuan triliun akhirnya tidak terkelola dengan baik karena adanya ilegal undang-undang ini. Ilegal undang-undang ini menunjukkan siapa yang kuat akan berkuasa. Siapa yang berkuasa akan mengeruk kekayaan semaksimal mungkin,” imbuhnya.

Menyisakan Banyak Masalah

Agus mengatakan, penambangan itu sesuatu yang tidak bisa diperbarui. “Kalau batu bara atau pasir dikeruk maka ada pengalihan hasil pengerukan ke tempat lain. Pengerukan berarti ada lubang. Kalau yang dikeruk itu sampai ratusan ribu meter kubik maka diameter serta kedalaman lubang akan sesuai dengan berapa meter yang dikeluarkan. Makanya eksploitasi pertambangan akan menyisakan banyak permasalahan di bekas-bekas tambang galian karena tidak bisa dilakukan rekayasa tanah lagi,” bebernya.

Setelah selesai melakukan penambangan, ucap Agus, pengusaha akan migrasi ke tempat lain dan tambang lama yang ditinggalkan akan menjadi bencana sosial, bencana ekologi bagi penduduk sekitar.

Agus menilai, kerusakan lingkungan ini semakin menjadi-jadi karena ada jual beli izin. “Contoh misalkan izin galian C, perusahaan bisa mengakuisisi sehingga perusahaan baru tidak perlu mengurus sejak awal,” ungkapnya.

Di Klaten saja, kata Agus, itu ada 900 perusahaan yang mengantongi izin. “Kalau 900 perusahaan ini bergerak semua untuk mengeksploitasi ya rusaklah Klaten itu,” kritiknya.

Untuk keluar dari masalah ini, menurut Agus, tergantung seberapa besar keinginan para pembuat kebijakan untuk membenahinya.

“Karena kalau regulasinya sudah oke, perusahaan-perusahaan penambang tinggal ikut saja. Bukan seperti sekarang regulasi itu seperti hutan belantara, yang kuat akan membuat keamanan sendiri untuk mengamankan penambangannya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: