Mediaumat.id –Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menegaskan, justru solusi dua negara atas Palestina adalah sebuah bentuk pengkhianatan. “Solusi dua negara ini merupakan bentuk pengkhianatan sebenarnya,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Selasa (9/8/2022).
Pasalnya, sambung Farid, solusi tersebut pada dasarnya mensyaratkan pengakuan terhadap berdirinya Israel yang notabene adalah negara penjajah atas Palestina.
Artinya, solusi tersebut bakal memposisikan Palestina yang pada dasarnya merupakan milik seluruh umat Islam, sebagai yang dikendalikan.
Hal itu ia kemukakan, merespon pernyataan pemerintah Cina yang menyebut berulangnya konflik antara Israel dan Palestina disebabkan tidak adanya implementasi solusi dua negara.
Dalam kesempatan pengarahan pers, sebagaimana dikutip laman resmi Kemenlu Cina pada Senin (8/8/2022), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Wang Wenbin menceritakan tentang konflik antara Israel dan Palestina yang terus berulang.
“Alasan konflik berulang antara Israel dan Palestina adalah tidak adanya implementasi solusi dua negara serta penolakan lama terhadap seruan sah rakyat Palestina untuk membangun negara merdeka,” katanya.
Oleh karena itu, Wang menganggap sangat penting mengupayakan solusi Palestina berdasarkan solusi dua negara. “Cina akan terus dengan tegas mendukung Palestina dalam tujuan mereka yang adil guna hak-hak mereka yang sah dan akan terus melakukan upaya tanpa henti untuk itu,” ucapnya.
Padahal seperti dipahami bersama, ungkap Farid, tanah Palestina adalah kharajiyyah, yakni tanah milik kaum Muslim di seluruh dunia. Bukan milik rakyat Palestina, bangsa Arab terlebih Yahudi Israel.
Khalifah Umar bin Khattab ra yang telah menaklukkan dan menjadikannya sebagai kharaj, yang statusnya tidak akan berubah hingga hari kiamat.
Tak Beda dengan AS
Menurut Farid, solusi yang diungkapkan Cina yang mendasarkan dua negara atas Palestina, tidak ada bedanya dengan Amerika Serikat (AS). Karena sesungguhnya dalam kebijakan politik luar negeri mereka sama ketika menghadapi Islam.
“Kebijakan politiknya adalah kebijakan politik yang dilandasi oleh apa yang disebut sebagai perang melawan radikalisme,” jelasnya.
Dengan kata lain, jelas Farid, paradigma mereka sama, mengatasnamakan perang melawan radikalisme dan terorisme versi sepihak, mereka sendiri.
“Sebutlah isu-isu yang kerap dihembuskan kedua negara tersebut. Dengan paradigma tadi, Cina telah mengkriminalisasi dan labelisasi terhadap perjuangan Muslim Uighur yang memperjuangkan pembebasan tanahnya dari penjajahan,” terangnya.
Tak hanya itu, lanjut Farid, Cina juga melakukan pembungkaman terkait perjuangan kaum Muslim di Turkistan Timur atau wilayah Xinjiang dengan program deradikalisasi yang sebenarnya adalah menjauhkan umat Islam dari akar akidah Islam yang selama ini diyakini.
Sehingga, meskipun Islam terkesan dibiarkan di Cina, kata Farid, sebetulnya Islam yang ada adalah Islam yang tidak mengancam kepentingan mereka. “Islam yang minus ideologi, Islam yang minus dengan jihad fisabilillah,” bebernya.
Tah heran, dengan alasan pembinaan, perawatan atau pertukaran budaya, Cina mendirikan kamp-kamp yang menurut Farid sarat dengan aktivitas pencucian pikiran atas kaum Muslim Uighur.
Kepentingan Penjajah
Di sisi lain, solusi dua negara meniscayakan bahwa posisi negara Palestina, kalaupun itu ada nantinya, kata Farid kembali menekankan, dalam posisi yang tetap dikendalikan oleh AS, serta dibuat tidak mengancam kepentingan penjajah Yahudi.
Ditambah, Palestina nantinya tidak akan dibiarkan memiliki pasukan atau persenjataan yang bisa mengancam eksistensi Yahudi.
“Tetap saja solusi dua negara itu adalah solusi yang memosisikan Palestina itu sebagai wilayah yang dijajah,” ucapnya lagi.
Perlu diketahui, sebut Farid, di balik semua itu sebenarnya ada kekhawatiran baik dari AS ataupun Cina, bahwa di tengah-tengah umat Islam akan berdiri negara yang benar-benar berdasarkan Islam, yang menyatukan seluruh kaum Muslim, membebaskan negeri-negeri Islam yang ditindas, yang dijajah.
“Termasuk Turkistan Timur yang sekarang dijajah Cina,” tegasnya.
Lantaran itu, Cina tampak mendukung solusi dua negara tersebut yang menurut Farid, membuktikan bahwa kebijakan politik luar negeri AS dan Cina hakikatnya adalah sama ketika berhadapan dengan umat Islam.
“Mereka menjadikan umat Islam sebagai musuh, mereka tidak ingin di negeri Islam berdiri satu negara yang menyatukan kaum Muslim dalam wujud negara khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah,”_ jelasnya.
“Dan ini yang mereka khawatirkan juga berdiri di Palestina,” imbuhnya.
Lebih-lebih, kalaupun terbentuk solusi dimaksud, pun tak akan menjamin tidak berulangnya konflik antara Israel dan Palestina. Sebabnya sekali lagi, solusi tersebut merupakan pangkal persoalan itu sendiri.
Yang berarti juga tetap membenarkan keberadaan entitas penjajah Yahudi yang akan melakukan tindakan sama kalau ada perlawanan dari rakyat Palestina.
“Kecuali kaum Muslim di Palestina diam, tidak melakukan apa pun. Tentu bagi mereka itu tidak masalah,” timpalnya.
Namun, Farid meyakini bahwa kaum Muslim di sana tidak akan pernah tinggal diam. “Tanah yang ada di Palestina itu adalah tanah kaum Muslim, tanah yang harus dibebaskan bukan saja oleh rakyat Palestina tetapi oleh seluruh kaum Muslim,” pungkasnya penuh semangat.[] Zainul Krian