Fitnah: Antara Paradoks dengan Realitas
Oleh: Lalang Bakti (pengamat Media)
“Jelang tahun politik, isinya media sosial ya fitnah dan kabar bohong. Coba kalau tidak percaya, buka media sosial. Disana dibilang Jokowi itu PKI, saya empat tahun ini digitukan diam saja. Sekarang saya mau ngomong,” kata Presiden Jokowi saat membagikan sertifikat tanah untuk warga Jakarta Barat di Gedung Serbaguna Cendrawasih, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat, Rabu (9/1/2019).
Catatan
Islam mengharamkan seorang muslim menfitnah / menteror muslim lainnya baik secara psikis maupun fisik. Rasulullah saw bersabda:
“Seorang Muslim tidak halal meneror Muslim yang lain.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi)
di negeri ini pelaku penyebar hoax bisa terancam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau Undang-Undang ITE. Di dalam pasal itu disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana maksimal enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Fitnah yang menyesatkan [mudhillati al-fitan] itulah fitnah yang membuat kita terperosok atau tersungkur. Fitnah yang membuat kita terperosok dan tersungkur itu boleh jadi bukan keburukan [syarr], tetapi sebaliknya, kebaikan [khair]. Lalu apa yang membuat kita terperosok atau tersungkur dalam kubangan fitnah kehidupan? Jawabannya adalah hawa nafsu. Ketika kita dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga akal dan kesadaran kita kalah. Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Dzamm al-Hawa, menjelaskan bahwa dorongan hawa nafsu itu tidak selamanya buruk, tetapi harus tetap dikendalikan oleh akal dan kesadaran kita.
Namun, pemerintah juga perlu instrospeksi diri, terhadap kezaliman dan fitnah kepada HTI. Tentu hampir seluruh masyarakat Indonesia masih mengingat bagaimana drama pencabutan BHP ormas Islam HTI yang sempat menjadi perbincangan hangat dalam sidang PTUN Jakarta. Pro kontra begitu menguat atas keputusan rezim yang dinilai otoriter. Tapi jika melihat fakta persidangan, maka bisa diambil kesimpulan bahwa rezim lebih banyak menggunakan logika kekuatan yakni kekuasaan dibanding kekuatan logika.
Berbagai argumen yang diajukan HTI dalam persidangan selalu dijawab secara tidak rasional dan tidak proporsional. Konstruksi argumen yang dibangun oleh ahli yang dihadirkan pemerintah juga banyak ditemukan kekeliruan berfikir. Mereka lebih tepat disebut emosionalitas dibanding rasionalitas.
HTI berkembang dalam negara yang miskin narasi. Argumentasi rasional yang dikonstruk HTI demi kebaikan negeri ini ibarat segelas susu tapi dibalas dengan air tuba. Argumentasi rasional dibalas dengan persekusi emosional. Dakwah Islam dibalas dengan dendam dan kebencian. Idealisme dibalas dengan otoriterisme. Narasi intelektual dibalas dengan logika dangkal.
Semua tuduhan kepada HTI seperti anti Pancasila, anti kebhinekaan, radikal, memecah belah bangsa terbantahkan. Tak ada satupun tuduhan rezim bisa dibuktikan dalam persidangan. Rezim lebih banyak berilusi dibanding berargumentasi. Inilah kesalahan terbesar rezim ini, mulut berbusa memuja demokrasi, tapi kepada dakwah Islam justru melakukan persekusi.
Tidak sampai di sini, setelah puas menzolimi, kini HTI dihadapkan dengan oknum-oknum yang menfitnah. Istilah ditunggangi HTI sempat viral di sosmed. Istilah ditunggangi HTI jika dikaitkan dengan obyeknya, maka menunjukkan kebodohan dan kedunguan. Fitnah itu tanda mereka tidak paham apa itu HTI.
Pemerintah harus instrospeksi diri terkait ajaran khilafah. Tentang khilafah, apa yang dipersoalkan? Khilafah adalah ajaran Islam. Para ulama mu’tabar juga tidak ada ikhtilaf tentang ini. Mereka semua mengatakan bahwa umat Islam wajib mengangkat seorang khalifah yang menegakkan syariah.
Dalilnya amat banyak, baik al-Quran maupun al-Sunnah. Para Sahabat radhiyaL-lâh ‘anhum juga bersepakat bahwa khilafah adalah kewajiban. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai ahamm al-wâjibât, kewajiban yang paling penting. Imam Ibnu Hajar al-Haitami berkata:
Ketahuilah juga bahwa para Sahabat ra. seluruhnya telah berijmak bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka telah menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Buktinya, para Sahabat lebih menyibukkan diri dengan perkara ini dibandingkan dengan mengurusi jenazah Rasulullah saw. Perselisihan mereka dalam hal penentuan (siapa yang berhak menjadi imam) tidaklah merusak ijmak yang telah disebutkan itu (Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Oleh karena itu, melemparkan fitnah dan stigma negatif terhadap khilafah adalah tuduhan serius.
Karena ajaran Islam, maka merendahkan khilafah sama halnya dengan merendahkan ajaran Islam. Dan ingatlah, Islam adalah agama yang diturunkan Allah Swt. Tidakkah itu berarti menuduh Dzat menurunkannya, Allah Swt?
Perlu dicatat, khilafah bukan sekadar ajaran Islam. Lebih dari itu, hanya dengan khilafah seluruh ajaran Islam dapat dijalankan secara sempurna. Setelah Rasulullah saw wafat, Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radhiyaL-lâh ‘anhu menyampaikan tentang urgensi adanya pemimpin yang menegakkan Islam. Beliau berkata:
“Wahai manusia, barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya beliau telah wafat. Dan barangsiapa yang menyembah Allah Swt, sesungguhnya Dia hidup dan tidak akan mati. Dan harus ada orang yang menegakkan urusan agama ini. Perhatikanlah dan sampaikan pendapat kalian!” Mereka menjawab, “Engkau benar.”
Inilah di antara fungsi penting khilafah: Menerapkan Islam secara kaffah. Jika itu dianggap berbahaya, pertanyaannya: Adakah ajaran Islam yang berbahaya bagi manusia? Adakah syariah atau hukum Islam yang salah dan buruk bagi manusia?[]