Fiqih Islam Bisa Selesaikan Persoalan Umat Bila Berlaku Kaffah

 Fiqih Islam Bisa Selesaikan Persoalan Umat Bila Berlaku Kaffah

Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan ia meyakini fiqih Islam dapat berperan menjadi solusi dalam penanganan pandemi Covid-19. Sebab, pandemi Covid-19 ini, kata Ma’ruf, merupakan pengalaman baru berbagai negara di dunia, sehingga membuat Pemerintah di dunia gamang dalam membuat keputusan penanggulangan.

Karena itu, dibutuhkan peran fiqih Islam sebagai gagasan baru untuk memberikan pencerahan dan petunjuk terhadap pengambilan kebijakan.

“Saya yakin (fiqih Islam) dapat memberikan solusi dan sumbangan, pemikiran untuk mengatasi pandemi Covid 19 beserta seluruh dampaknya, saya yakin karena fiqih Islam dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan bagi umat seluruh dunia,” ujar Ma’ruf saat teleconference di acara Simposium Tahunan Ekonomi Islam Al Baraka ke-40, Sabtu (9/5).

Komentar:

Setiap muslim sudah semestinya mengimani ajaran Islam turun sebagai solusi bagi setiap persoalan kehidupan. Karakter ajaran Islam adalah rahmat dan memberikan petunjuk ke jalan yang lurus. Firman Allah SWT.:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (TQS. Al-Isra: 9).

Juga firmanNya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (TQS. Al-Anbiya: 107).

Namun demikian ajaran Islam takkan mampu menjadi solusi dan rahmat dalam kehidupan bila tidak diterapkan. Mengenai fikih itu sendiri ia merupakan bagian dari ajaran Islam. Fikih adalah ilmu tentang berbagai hukum-hukum syara’ yang praktis (untuk diamalkan) yang digali dari dalil-dalil yang rinci. Keberadaan ilmu fikih itu adalah untuk diterapkan dalam kehidupan, bukan berada di dalam buku-buku, di perpustakaan-perpustakaan, atau hanya diperdengarkan dalam kajian-kajian.

Allah SWT. menurunkan hukum-hukum Islam memang untuk diberlakukan di tengah umat manusia. FirmanNya:

احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِن تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.(TQS. Al-Maidah: 49)

Allah Ta’ala juga berfirman:

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kekafiran.” (QS. Al-Ma’idah: 44).

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kezaliman.” (QS. Al-Ma’idah: 45).

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka mereka itulah para pelaku kefasikan.” (QS. Al-Ma’idah: 47)

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah karena menentang hukum itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya sebagaimana halnya keadaan kaum Yahudi, maka dia adalah kafir. Adapun barangsiapa yang tidak berhukum dengannya karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan -terhadap hukum Allah, maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.” (lihat Zaadul Masir, hal. 386)

Ibnu Mas’ud dan al-Hasan menafsirkan, “Ayat itu berlaku umum bagi siapapun yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, baik dari kalangan umat Islam, Yahudi, dan orang-orang kafir. Artinya, apabila dia meyakini dan menghalalkan perbuatannya itu. Adapun orang yang melakukannya sementara dia berkeyakinan dirinya melakukan perbuatan yang haram, maka dia tergolong orang muslim yang berbuat fasik…” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [7/497])

Mengherankan dan memilukan bila hari ini Syariat Islam dan orang-orang yang berjuang mendukung penerapannya justru dianggap sebagai musuh bersama. Padahal mereka hanya sekedar berkeinginan melaksanakan titah Allah SWT. dan menyelamatkan negeri.

Bila memang Wapres KH. Ma’ruf Amin, yang juga Ketua MUI, meyakini fikih Islam bisa menjadi solusi persoalan pandemi, maka apa lagi yang ditunggu? Terapkan saja tanpa ragu. Bukankah semestinya beliau lebih paham akan kewajiban menerapkan hukum-hukum Islam. Beliau juga mestinya lebih mengerti bahwa tidak boleh menerapkan fikih Islam hanya untuk kemaslahatan untuk kemudian dicampakkan. Atau hanya mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian lagi hukum-hukum yang lain.

Semestinya muncul seruan dari lisan beliau, bahwa hanya dengan Syariat Islam berbagai persoalan di negeri ini dapat dituntaskan. Terbukti demokrasi dan kapitalisme yang telah diterapkan semenjak kemerdekaan hingga hari ini hanya menambah karut marut kondisi tanah air.

Dalam kasus pandemi covid-19 terlihat betapa negara lebih membela kepentingan investor dan kaum kapitalis, ketimbang bekerja keras menyelamatkan rakyat dan menjamin kebutuhan hidup mereka. Semestinya ini jadi peringatan keras bahwa demokrasi dan kapitalisme telah gagal menyelamatkan umat manusia.[] IwanJanuar/LS

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *