Filsafat Ghaib vs Filsafat Alam

Dr. Fahmi Amhar

Bicara sejarah peradaban Islam, orang sering menduga bahwa perkembangan sains saat itu karena umat Islam menekuni filsafat yang semula dipelajari dari buku-buku yang diterjemahkan dari bahasa Yunani.  Adalah para mutakalimin yang dipaksa keadaan untuk belajar filsafat, yakni untuk meladeni perdebatan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Syam yang sudah terlebih dahulu menekuni filsafat Yunani.  Namun menurut an-Nabhani (dalam kitab Syakhsiyah Islamiyah juz 1), generasi kedua setelah mutakalimin sudah menekuni filsafat tak lagi untuk modal berdebat, tetapi sudah murni karena filsafat ternyata olah pikir yang mengasyikkan.

Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan eksperimen dan percobaan ilmiah, tetapi dengan mengutarakan masalah secara persis dengan berbagai premis dan aksioma, mengajukan beberapa solusi, lalu memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu. Akhir dari proses itu dimasukkan ke dalam sebuah dialektika.  Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir rasional dan logika bahasa.

Logika merupakan ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Itu membuat filsafat sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, rasa penasaran dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal.

Kata falsafah atau filsafat merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسفة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία (philosophia).  Kata ini merupakan kata majemuk dari kata (philia = persahabatan, cinta) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harfiahnya berarti seorang “pencinta kebijaksanaan”.

Oleh para pengamat, filsafat diklasifikasikan menurut wilayah dan menurut agama.  Menurut wilayah, filsafat bisa dibagi menjadi: filsafat Barat (Yunani, Eropa), Timur (Cina), dan Timur Tengah (Arab, Persia). Sementara, menurut agama, filsafat dibagi menjadi: filsafat Islam, filsafat Budha, filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.

Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu.  Secara umum filsafat membicarakan Metafisika (Ontologi), Epistemologi, dan Aksiologi (Etika+Estetika).

Metafisika mengaji hakikat segala yang ada. Di sini, hakikat yang ada dan eksistensi secara umum dikaji dalam Ontologi.  Adapun hakikat manusia dan alam semesta dibahas dalam Kosmologi. Dalam metafisika sendiri ada berbagai perbedaan teori-teori filsafat. Idealisme, misalnya, meyakini bahwa realitas ada hanya di dalam mental (jadi “banyak atau bagus, itu karena pikiran kita mengatakan banyak atau bagus”), sementara Realisme menyatakan bahwa realitas, setidaknya beberapa bagiannya, memang benar-benar ada secara independen dari pikiran.

Kemudian Epistemologi, ini cabang filsafat yang mengaji hakikat dan wilayah pengetahuan, seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.  Skeptisisme adalah posisi yang mempertanyakan kemungkinan yang benar-benar membenarkan kebenaran apapun.  Argumen regresi, terjadi ketika untuk membenarkan pernyataan apapun, diperlukan dukungan oleh pembenaran yang lain.  Rasionalisme adalah penekanan pada penalaran sebagai sumber pengetahuan. Empirisme adalah penekanan pada bukti pengamatan melalui pengalaman indrawi atas bukti lain sebagai sumber pengetahuan.  Parmenides (500 SM) berpendapat bahwa berpikir harus memiliki objek, dan karena itu, jika ada yang melampaui pemikiran, maka objek tersebut mustahil dapat dipikirkan dengan benar.

Sedang Aksiologi adalah yang membahas masalah nilai atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari sini lahirlah dua cabang filsafat yang membahas kualitas hidup manusia: etika dan estetika.  Etika, membahas tentang bagaimana seharusnya manusia bertindak dan mempertanyakan bagaimana kebenaran dari dasar tindakan itu dapat diketahui. Sedang estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan.

Yang sering disebut filsafat Islam adalah filsafat yang seluruh pelakunya Muslim. Ada perbedaan besar dengan filsafat lain: Pertama, meski semula para filsuf Muslim klasik menggali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plato, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam.  Kedua, karena Islam agama tauhid, maka, bila dalam filsafat lain masih ‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan’, sehingga filsuf Islam relatif lebih fokus kepada manusia dan alam, karena sebagaimana mafhum, pembahasan Tuhan hanya menjadi suatu pembahasan yang tak pernah ada finalnya.

Hanya saja, kadang-kadang ada sebagian filsuf Muslim, yang terpancing untuk memikirkan alam ghaib seperti sifat-sifat Allah, malaikat atau akhirat, dan akhirnya mendapat kesimpulan yang sesat, misalnya bahwa alam ini qadim atau azali, tetapi surga ternyata tidak kekal.  Pemikiran ini tentu saja tidak mungkin divalidasi, karena seperti kata Parmenides, obyeknya melampaui pemikiran.

Namun para filsuf ini kadang menisbahkan pemikiran sesatnya ini pada beberapa filsuf kondang dalam dunia Islam, misalnya Al-Kindi, Ibnu Sina, atau Al-Farabi.  Tentu saja kita sudah sulit memverifikasi benarkah itu pendapat mereka, atau seperti hadits palsu yang dikarang orang lalu dinisbatkan kepada Nabi, agar sekadar mendapat perhatian dan legitimasi?  Beberapa ulama yang muncul belakangan, tanpa pernah bertemu, terpancing untuk menghakimi.  Ibnu Taimiyah bahkan memvonis Ibnu Sina sebagai kafir, karena ada pendapat tentang dunia ghaib yang dinisbatkan ke Ibnu Sina yang bertentangan dengan nash qath’i yang masuk dalam bahasan akidah.

Namun yang jelas, sejarah kemudian mencatat, bahwa yang benar-benar berkembang dalam peradaban Islam bukanlah “filsafat ghaib” (metafisika) yang tak bisa diuji, tetapi “filsafat alam”, yang berbasis pengamatan dunia empiris.  Filsafat alam inilah yang lalu berkembang menjadi ilmu fisika, kimia, astronomi dan sebagainya.  Isaac Newton masih menulis buku dalam bahasa Latin berjudul “Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica” (“Matematika prinsip-prinsip filsafat alam”).  Jadi definisi filsafat memang telah berkembang.

Namun juga tidak terlalu salah untuk mengatakan, bahwa sebenarnya Islam tidak memerlukan filsafat.  Islam jelas membutuhkan logika dan matematika.  Namun apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, serta soal nilai dan norma, semua sudah dijelaskan di dalam Alquran dan Sunnah.  Tinggal tugas para mujtahid dan ilmuwan untuk menjabarkannya.

Share artikel ini: