Filosofi Negara Islam di Balik Keindahan Kalimat Adzan
(Filosofi Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji & Catatan Tambahan Irfan Abu Naveed al-Atsari)
Al-‘Allamah Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H) menuliskan secara apik dalam salah satu magnum opus-nya, kitab Ru’yat[un] Siyâsiyyat[un] li al-Sîrah al-Nabawiyyah, filosofi Negara Islam (Al-Daulah al-Islâmiyyah) di balik untaian demi untaian kalimat adzan, beliau –rahimahuLlâh- menuturkan:
“Kami, dengan menetapkan ini semua, mengakui dan mempercayai bahwa azan merupakan seruan untuk shalat, namun kami dengan telinga yang dalam mendengar suara hatiku berkata bahwa azan memiliki makna lain dan fungsi lain di samping fungsi sebagai seruan untuk shalat, yakni azan sebagai seruan resmi yang dikeluarkan dari pusat resmi negara-masjid dengan menggunakan media informasi yang resmi yaitu juru azan yang telah diangkat oleh Rasulullah saw., sebagai kepala negara melalui berdirinya negara Allah di bumi, di bawah kepemimpinan Muhammad Rasulullah saw.. Semua itu terjadi, setelah Rasulullah saw. berhasil melewati setiap rintangan yang dipasang oleh para pemuja kegelapan di jalan menuju tegaknya Negara Islam. Ternyata rencana Allah di atas rencana siapapun, dan kekuatan Allah di atas kekuatan siapapun.
Kalau saja Anda mau merenungkan kalimat azan yang pertama “الله أكبر الله أكبر” maka Anda akan mengerti bahwa Allah swt. lebih besar daripada mereka para thaghut, sehingga otomatis Allah lebih kuasa dalam membuat rintangan, dan Dia Maha Memenangkan semua urusan-Nya. “أشهد أن لا إلهَ إلا الله” ini artinya bahwa tidak ada kedaulatan dalam negara Islam kepada selain Allah, dan tidak ada hukum selain hukum Allah:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ { ٥٧}
‟Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’âm [6]: 57)
Kalimat “أشهد أن محمداً رسولُ الله” artinya bahwa Allah swt telah menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak merampas kepemimpinan darinya. Beliau tetap dengan kepemimpinannya hingga Allah menyempurnakan agama-Nya melalui al-Qur’an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, dan juga melalui al-Sunnah yang diilhamkan Allah kepada Rasul-Nya.
Kalimat “حيّ على الصلاة dan حيّ على الفلاح” artinya bahwa bersegeralah, wahai manusia, untuk bergabung di bawah bendera negara yang murni karena Allah ini, dan telah menetapkan bahwa di antara tujuannya adalah memperkokoh hubungan manusia dengan Tuhannya, memperkokoh hubungan manusia dengan sesamanya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat tinggi.
Kalimat “قَدْ قَامَت الصّلاة” (seruan dalam iqamah) artinya bahwa shalat itu benar-benar telah ditegakkan dengan berdirinya negara ini, dan seandainya negara ini tidak berdiri, niscaya orang-orang tidak akan berani beribadah kepada Allah.
Kalimat “اللهُ أكبرْ . اللهُ أكبرْ . لا إله إلا الله” kemudian di akhir azan dipertegas kembali bahwa kedaulatan dalam Negara Islam hanya milik Allah semata, dan hukum yang ada dalam Negara Islam hanya syari’at-Nya saja.”
Penjelasan Tambahan Irfan Abu Naveed al-Atsari
Pertama, Adzan & Filosofi Sumber Kemuliaan
Adzan, seruan agung dari Dzat Yang Maha Agung, Allah ’Azza wa Jalla, mengandung seruan-seruan menyejukkan qalbu, menarik perhatian, dan menajamkan pendengaran. Keagungannya seiring sejalan dengan kandungan-kandungannya yang memuat prinsip-prinsip Islam, mencakup keimanan paling mendasar: Iman kepada Allah, dan Iman kepada Rasulullah Saw, dibalik proklamir kalimat syahadatain.
Di balik kalimat syahadatain yang mempresentasikan fondasi akidah Islam, dan tegaknya shalat yang merupakan kinayah dari syari’ah Islam, ada kemuliaan dan keberuntungan:
أشهد أن لا إلهَ إلا الله
أشهد أن محمداً رسولُ الله
حيّ على الصلاة
حيّ على الفلاح
Prinsip ini sebagaimana petunjuk Allah ’Azza wa Jalla yang mengisyaratkan relevansi keimanan dengan kemuliaan, salah satunya dalam firman-Nya:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ {٨}
“Dan bagi Allah kemuliaan itu, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Munâfiqûn [63]: 8)
Dalam ayat yang agung ini, Allah menisbatkan secara khusus (qashr) kemuliaan hanya milik Allah ’Azza wa Jalla, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman (al-mu’minîn). Dimana keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya menjadi sebab kemuliaan (al-’izzah), yakni kemuliaan dengan turunnya pertolongan Allah ’Azza wa Jalla bagi orang yang beriman menghadapi musuh-musuhnya, hingga meraih kemenangan.[1]
Bukan kemuliaan yang tegak di atas kemunafikan, namun di atas asas keimanan yang dikehendaki Allah SWT dalam firman-Nya:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا {٢٥٦}
“Karena itu siapa saja yang ingkar kepada thaghut, dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Allah SWT mengungkapkan ayat di atas dalam bentuk kalimat syarat (al-jumlah al-syarthiyyah)[2], yang menjadikan ingkar kepada thaghut[3] dan beriman kepada Allah sebagai syarat karakter orang yang berpegang teguh kepada al-’urwat al-wutsqâ, yang takkan terputus.
Allah SWT pun menekankan karakter agung ini dengan penegasan (taukîd)[4] pada kalimat qad istamsaka (sungguh ia telah berpegang teguh), dan bentuk penyerupaan (tasybîh) sikap ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah dengan ungkapan al-’urwah al-wutsqâ, sebagaimana diutarakan oleh Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil.[5] Al-’Urwah al-wutsqâ’ artinya ikatan tali yang kokoh. Didahulukannya ungkapan ingkar kepada thaghut sebelum ungkapan iman kepada Allah, menurut Syaikh Atha, karena ingkar kepada thaghut membutuhkan upaya yang lebih keras daripada iman kepada Allah yang sejalan dengan fitrah manusia dan menentramkan akalnya.[6] Inilah karakter keimanan mereka yang benar-benar beriman dan layak menyandang kemuliaan, mengingat ketundukkan kepada thaghut itu sendiri merupakan kehinaan.
Keimanan (akidah) yang mencakup prinsip al-walâ’ dan al-bara’ (loyal terhadap Islam dan berlepas diri dari segala hal yang menyelisihinya), keimanan (akidah) yang berfungsi sebagai pengendali dan kerangka berpikir seseorang (al-qiyâdah wa al-qâ’idah al-fikriyyah) sebagaimana isyarat dalam firman-Nya:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا {٦٥}
“Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam dirinya, terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 65)
Yakni keimanan terhadap segala hal yang wajib diimani sebagai konsekuensi dari keimanan terhadap Allah[7], bukan iman terhadap sebagian perkara dan mengkufuri sebagian lainnya, karena yang demikian itu hakikatnya tak beriman kepada Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا {١٥٠}
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman terhadap sebagian dan kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir).” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 150)
Prinsip ini pun tergambar dalam atsar Umar bin al-Khaththab r.a. yang menjadikan Islam sebagai sumber kemuliaannya:
إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ
“Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam, maka kami takkan pernah mencari kemuliaan dengan selainnya.”[8]
Karena Islam adalah Din yang mulia, tiada yang lebih mulia darinya, Ibn Abbas r.a. menuturkan:
الإِسْلاَمُ يَعْلُو وَلاَ يُعْلَى
“Islam itu mulia, tiada yang lebih mulia darinya.”[9]
Kedua, Adzan & Filosofi Kedaulatan Negara Islam
Kedaulatan hakiki dalam Islam, berdasarkan taujih al-Qur’an dan al-Sunnah al-Nabawiyyah, terang benderang hanya milik Al-Syari’ (Allah dan Rasul-Nya). Ini merupakan prinsip asasi yang digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya secara qath’i (pasti, tidak samar). Sekaligus menegaskan kekufuran ajaran apa pun yang menyalahi keyakinan prinsipil ini, adalah Demokrasi, benar apa yang disematkan oleh para ulama bahwa ia adalah sistem kufur (al-Dîmuqrâthiyyah nizhâm kufr).
Pemahaman kedaulatan dalam Islam, sesungguhnya dibangun berdasarkan argumentasi syar’i yang tegas, Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam firman-Nya:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ { ٥٧}
‟Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’âm [6]: 57)
Ayat yang agung ini menjadi sejelas-jelasnya landasan prinsipil (ushuli) dari politik dan kepemimpinan Islam, yang wajib dibangun dengan prinsip kedaulatan di tangan Al-Syâri’, Allah Swt. yang berhak membuat hukum, bukan manusia, bukan penguasa, bukan pula rakyat jelata. Ini merupakan perkara prinsipil yang dituntut oleh dalil-dalil qath’iyyah (pasti, 100%), dicontohkan secara praktis oleh Rasulullah Saw dan al-Khulafâ’ al-Râsyidûn dalam pemerintahan mereka, serta ditegaskan oleh para ulama dalam banyak kitab turats, tak ada yang akan mengingkari dan menafikannya kecuali mereka yang terpedaya, sama saja apakah terpedaya oleh hawa nafsu yang membutakan, atau kejahilan yang menggelapkan pandangan, wal ’iyâdzu biLlâh.
Ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang berhak mensyari’atkan hukum. Imam al-Syawkani menjelaskan:
{ إِنِ الحكم إِلاَّ الله } أي ما الحكم في كل شيء إلا لله سبحانه… والمراد : الحكم الفاصل بين الحق والباطل.
“[Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah] yakni tidak ada hukum dalam hal apapun kecuali hak Allah SWT…. dan maksudnya: Hukum yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.”[10]
Allah SWT mengajari manusia dengan memulainya dengan kalimat ilmu:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ {١٩}
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia, tiada sesembahan selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Al-Qur’an dan al-Sunnah wajib menjadi konstitusi tertinggi yang wajib dijunjung tinggi, mengingat Allah SWT telah berfirman:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ {٦١}
”Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi diatas semua hamba-Nya (QS. Al-An’âm [6]: 61)
Ketiga, Adzan, Shalat & Filosofi Persatuan Umat
Seruan adzan yang dikumandangkan di masjid, surau dan mushalla, menandakan ajakan khususnya bagi para ikhwan untuk menegakkan shalat berjama’ah di masjid. Diserukan oleh umat Islam di berbagai penjuru dunia, dimana shalat di dalamnya ditegakkan bersama-sama tanpa sekat ashabiyyah wathaniyyah, tak membedakan ras dan warna kulit, seluruhnya senada bersama-sama bertakbir, ruku’ dan bersujud kepada Allah Rabb al-’Izzah
Jelas itu semua sudah seharusnya menumbuhkan dan menguatkan rasa persaudaraan dilandasi ikatan akidah Islam, tak memandang warna kulit dan asal usul seluruhnya menyatu dalam lautan hamba-hamba-Nya yang tunduk kepada-Nya, menunaikan amanah-Nya:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ {١٠}
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurât [49]: 10)
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT mengumpamakan hubungan di antara orang-orang yang beriman sebagai hubungan saudara senasab (ikhwah), berkonotasi ikatan persaudaraan karena nasab atau saudara kandung.[11] Dalam ilmu balaghah, ini termasuk bentuk penyerupaan yang kuat (tasybîh balîgh).[12] Realitas ini sudah seharusnya membuahkan kesadaran politik umat, pentingnya persatuan yang dibangun dari asas akidah Islam, bersatu dalam satu kepemimpinan Islam, al-Khilâfah, wa biLlâhi al-taufîq. []
والله أعلم بالصواب
[1] Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, cet. I, 1422 H, jilid IX, hlm. 322.
[2] Di tandai dengan adanya perangkat syarat (adat al-syarth) yakni lafal man, “man yakfur” “wa yu’min” sehingga kata yakfuru dan yu’minu –berdasarkan tinjauan ilmu nahwu- berstatus majzum oleh man, dan adanya jawab syarat (jawâb al-syarth) di awali huruf fa’ al-jawâb.
[3] Thaghut, disebutkan Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah, dan juga mencakup setiap pemimpin kesesatan (ra’s al-dhalâl) (‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 388).
[4] Yakni diawali dengan huruf qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l al-mâdhi): استمسك – يستمسك (baca: istamsaka-yastamsiku dari wazan istaf’ala-yastaf’ilu).
[5] ‘Atha bin Khalil Abu Al-Rasythah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr: Sûrat al-Baqarah, hlm. 388.
[6] Ibid.
[7] Hal ini sebagaimana diuraikan oleh para ulama dalam turats mereka, salah satunya penjelasan ulama Nusantara yang mendunia, Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i dalam kitab Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq: Syarh Sullam al-Taufîq.
[8] Abu Abdullah al-Hakim, Al-Mustadrak, Kairo: Dâr al-Haramain, 1417 H, juz I, hlm. 120.
[9] Imam Al-Bukhari menisbatkan riwayat ini sebagai atsar dari Ibn Abbas r.a. (hadits mauquf) (bab إذا أسلم الصبي فمات هل يصلى عليه وهل يعرض على الصبي الإسلام); begitu pula Abu Ja’far al-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (no. 5267); Ibn Zanjawih dalam al-Amwâl (no. 506).
[10] Muhammad bin ‘Ali Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, Beirut: Dâr Ibn Katsîr, cet. I, 1414 H, juz II, hlm. 139.
[11] Muhammad al-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hlm. 14.
[12] Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, (XXVI/235).