Mediaumat.info – Filolog Salman Iskandar mengungkapkan, di era kekhilafahan, kaum Nasrani memiliki hak yang sama dengan umat Islam. “Kaum Nasrani memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslim,” ungkapnya kepada media-umat.info, Ahad (31/12/2023).
Hal ini ia paparkan setelah sebelumnya, terdapat unggahan terkait perbedaan sikap antara Kristiani di Betlehem dan Barat terhadap Palestina, yang diunggah akun @HizbBritain di X (26/12).
‘Menarik bagaimana mayoritas umat Kristen di Betlehem mendukung warga Palestina dan menentang pendudukan brutal, sementara mayoritas umat Kristen di Barat mendukung entitas Zionis dan rezim apartheidnya.’ demikian bunyi pesan unggahan dimaksud.
Bahkan berdasarkan Perjanjian Umariah (Uhdah Umariyyah) pada 638 M yang disepakati antara Khalifah Umar bin Khattab dengan Patriakh Monofisit Sophronius, ungkap Salman lebih lanjut, mereka yang bermukim di Baitul Maqdis khususnya, berada dalam naungan dan perlindungan kaum Muslim sepenuhnya.
Terlebih, melalui perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban antara umat Muslim Yerusalem dengan penduduk non-Muslim itu, Umar bin Khattab membebaskan para penduduk Yerusalem beribadah sesuai dengan keyakinan masing-masing, termasuk kaum Yahudi.
Untuk diketahui, ini merupakan fakta penting dalam sejarah kerukunan umat beragama yang pernah ditampilkan oleh seorang Khalifah Umar yang sebelum masuk Islam terkenal sebagai sosok yang keras.
Memang dalam perjanjian itu disebutkan, kaum Yahudi tidak diperbolehkan tinggal di Yerusalem, namun hal itu bukan berasal dari permintaan Umar, melainkan permintaan Sophronius. Pasalnya, kaum Nasrani tidak menyukai kaum Yahudi (Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia Religionum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007, hal. 182).
Sehingga dengan sangat terpaksa, menurut suatu riwayat, Umar mengkapling Yerusalem menjadi empat kapling (khai) (dan sekarang masih ada), yang terdiri dari (1) kapling Kristen Armenia, (2) kapling Ortodoks, yang keduanya tidak dipersatukan, (3) kapling Yahudi, dan paling besar (3) kapling kaum Muslim. Sejak itu Yerusalem menjadi kota multiagama.
Dengan kata lain, kehidupan mereka dijamin berdasarkan Islam yang notabene sebagai rahmat bagi semesta.
Maka tak heran ketika terjadi Perang Salib, mereka berjuang bersama mengusir para tentara salib dari sana. “Bahkan kaum Nasrani di Palestina saat terjadinya Perang Salib, malah ikut berjuang bersama Sultan Shalahuddin al-Ayyubi mengusir crusaders dari Yerusalem,” kata Salman membeberkan.
Karenanya, saat ini, tatkala entitas penjajah Yahudi berikut kebrutalan rezim apartheid menzalimi kaum Kristiani di Bayt al-Lahmi (Betlehem), seketika mereka pun mendukung Muslim Palestina.
“Bagaimana tidak, dalam ajaran Judaisme di Talmud, mereka (Yahudi) menganggap bangsa selain Yahudi alias goyyim atau gentile adalah human animal atau manusia setengah hewan,” paparnya.
Dengan dalih tersebut, entitas Zionis Yahudi merasa punya hak untuk melakukan dehumanisasi terhadap goyyim atau gentile tersebut.
Namun berbeda halnya dengan kaum Nasrani di luar Palestina yang menurut Salman, mereka ‘buta’ dan ‘tuli’ dengan kebiadaban Zionis Yahudi.
Kata Salman, mereka yang tetap pro Zionis dikarenakan menganggap kaum Yahudi adalah bani Israil yang berhak atas Yerusalem dan pendirian kuil Solomon (the third temple of Solomon) di Beit Hamikdash (Batul Maqdis).
“Paradigma tersebut diyakini sebagai bagian dari nubuwatan yang mereka yakini dalam Old Testament (Perjanjian Lama) dan dan New Testament (Perjanjian Baru),” pungkasnya.[] Zainul Krian