Mediaumat.info – Pemerhati Politik Faisal Syarifudin Sallatalohy menilai film berjudul Tuhan, Izinkan Aku Berdosa menyuguhkan dua kampanye penting liberalisme agama.
“Di antara sekian banyak promosi cuci otak, alur utama ceritanya (film ini) menyuguhkan dua kampanye penting liberalisme agama,” tulisnya di akun Facebook pribadinya, Faisal Lohy, Ahad (17/3/2024).
Pertama, mengampanyekan kebolehan menikah beda agama. Dan yang kedua, pandangan tentang berjilbab yang dinilai tidak penting (baca: wajib) khususnya bagi Muslimah.
Sekadar diketahui, film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini diadaptasi dari novel berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur karya Muhidin Dahlan.
Terlepas itu, secara prinsipil ajaran Islam liberal atau paham relativitas keyakinan dalam hal ini klaim kebenaran mutlak terhadap satu agama adalah suatu kejahatan, menurut Faisal, sangat mudah didefinisikan dalam film ini.
Pasalnya, kendati fikih Islam liberal selalu berkembang, namun substansinya sangatlah lemah. Sebab, pemahaman ini didasarkan pada metode dan logika tafsir kontekstual berbasis hermeneutika.
“Dasarnya adalah logika kontekstual, rujukannya adalah perkembangan zaman,” imbuhnya, yang berarti menuding Islam tak lagi menjadi pembatas pernikahan antar beda agama, sedangkan jilbab pun tidak lagi relevan, bahkan dikatakan budaya Arab yang usang termakan usia.
Ditambah, konteks perkembangan dunia telah melahirkan kebebasan yang berbasis HAM. “Manusia bebas memilih, ingin menikah dengan siapa saja atau mau gunakan jilbab atau tidak, agama tidak boleh menjadi pembatas,” ucapnya, memaknai prinsip kebebasan tersebut.
Tak Bisa Diterima
“Metode tafsir seperti ini, secara genealogi, tidak bisa diterima,” tegasnya.
Sebab secara aksioma dan dogma, berjilbab dan larangan nikah beda agama adalah bagian dari ajaran Islam yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Apalagi tidak merugikan siapa pun ketika seorang Muslim menaati larangan ini.
Terkait nikah beda agama misalnya, justru berpotensi merusak akidah, mental dan psikologis manusia. Artinya, memaksakan bersatunya dua aturan agama dalam satu rumah tangga, menurut Faisal, adalah hal konyol, dan tidak mungkin ketemu.
Pun demikian dengan mengganti jilbab dengan pakaian terbuka warisan budaya sekuler, justru berpotensi memunculkan kerusakan person dan kerusakan sosial lebih lanjut.
Demikian tafsir hermeneutika berdasar logika kontekstual yang jelas-jelas merusak agama, moral, mental manusia, serta tidak sesuai dengan etika sosial, terlebih tidak cocok dengan budaya apapun.
“Hermeunetik mah begitu,” lontarnya, yang juga berarti akan selalu lahir tafsir Islam baru, kampanye ajaran modern yang semakin mereduksi dan menggeser kemurnian baik ajaran, identitas, budaya Islam dari tafsiran ulama ke arah berpikir Barat.
“Barat enggak suka lihat orang pakai jilbab. Mereka akan selau disebut eksklusif, radikal, teroris dsb.,” pungkasnya. [] Zainul Krian