Fikih Patung, Ternyata Islam Tak Mutlak Mengharamkan
Mediaumat.id – Terkait hubungan seseorang dengan keinginan membuat patung, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menegaskan, Islam tidak mutlak mengharamkan.
“Islam tidak mengharamkan secara mutlak, tidak total. Mana karya patung yang halal, mana karya patung yang haram,” ujarnya dalam Ngajeni (Ngaji Seni) #7: Ketika Seniman Patung Bertemu Pakar Fikih, Sabtu (16/4/2022) di kanal YouTube Painting Ekplorer.
Lantaran itu, ia merasa perlu menyampaikan ketentuan berkenaan dengan patung dalam fikih Islam. Dimulai dengan pengertian tashwir, kemudian hukum melukis dan membuat patung.
Penting untuk diketahui, lanjut Kiai Shiddiq memulai, kata tashwir kerap menjadi satu kata kunci hadits-hadits Nabi SAW tatkala membahas hukum patung atau lukisan.
Telah menjelaskan, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitab beliau, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II/350, tashwir merupakan aktivitas manusia berupa membuat gambar dari sesuatu.
Yang hasilnya, masih di kitab beliau, dari kegiatan atau aktivitas dimaksud akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, bentuk yang tidak memiliki bayangan, atau bisa dikatakan gambar dua dimensi. Misalnya, lukisan, pahatan ataupun ukiran.
Kedua, terdapat hasil yang bentuknya mempunyai bayangan atau biasa disebut dengan karya tiga dimensi yang hasilnya bisa berupa patung, replika, maupun boneka.
Kemudian, tentang hukum melukis termasuk juga membuat patung, kata Kiai Shiddiq melanjutkan, dibagi menjadi dua. Yakni hukum menggambar atau membuat patung dari objek bernyawa dan tak bernyawa.
“Ungkapan yang tepat itu bukan menggambar makhluk hidup, tetapi objek yang bernyawa. Karena ada makhluk hidup yang boleh dilukis, boleh dibuat patung, yaitu pohon,” terangnya dengan mengatakan pohon termasuk makhluk hidup namun tak bernyawa.
“Menggambar atau membuat patung dengan objek yang ada ruhnya (nyawanya) seperti manusia atau hewan, hukumnya haram,” tegasnya setelah itu, sebagaimana sabda Nabi SAW yang artinya,
‘Barangsiapa menggambar suatu gambar (atau bisa juga ditafsirkan lukisan atau patung), maka Allah akan mengazabnya pada hari kiamat hingga ia dapat meniupkan ruh ke dalamnya, padahal dia tak akan mampu meniupkannya’ (HR Bukhari, 6370).
Tak hanya itu, ada satu hadits lagi yang menurutnya lebih mengerikan. ‘Setiap orang yang menggambar (atau membuat patung), akan masuk neraka. Allah akan menjadikan nyawa untuk setiap gambar (atau patung) yang dia buat, lalu gambar (atau patung) itu akan mengazab dia di neraka Jahannam’ (HR Muslim, 2110).
Sehingga patung kalajengking misalnya, kata Kiai Shiddiq, di hari kiamat nanti benda itu akan diberi nyawa oleh Allah SWT. Lantas binatang artropoda itu akan menyiksa si pembuat patungnya.
“Kalau kalajengking masih kecil. Di Malang itu ada patung dinosaurus yang nanti pasti mengerikan sekali kalau nanti di akhirat,” tunjuknya sedikit berkelakar.
“Bayangkan dinosaurus itu dihidupkan sama Allah. Awalnya patung saja, mungkin terbuat dari resin atau batu, kayu. Tiba-tiba nanti di hari kiamat bisa bergerak-gerak, mengerikan. Naudzubillah,” tambahnya.
Sehingga berdasarkan keumuman hadits-hadits, Kiai Shiddiq mengatakan bahwa keharaman pun bersifat umum, baik objek tashwir-nya tidak mempunyai bayangan (menggambar/melukis) atau mempunyai bayangan (membuat patung).
“Baik objek tashwir-nya bersifat utuh (mungkin hidup) maupun tidak utuh (tak mungkin hidup),” nukilnya dari kitab yang sama.
Lugasnya, hukum menggambar maupun membuat patung objek tashwir bernyawa tak utuh, hukumnya tetap haram.
“Artinya meski patung dada atau torso, yang hanya sampai dada, tidak ada perutnya, tidak ada kakinya ini sebenarnya hukumnya juga haram atau tidak boleh,” tegasnya.
Boleh
Sedangkan hukum menggambar atau membuat patung dari objek tak bernyawa, kata Kiai Shiddiq, hukumnya boleh.
Sebagaimana Islam tak mengharamkan makan dan minum, membuat lukisan atau patung juga sama saja. Ada yang haram dan halal. “Dari hadits ini, bisa kita simpulkan, berarti kalau yang dibuat sebagai karya itu memang tidak bernyawa sejak awal, maka itu dibolehkan,” tuturnya.
Dengan kata lain, secara nalar hadits tersebut menunjukkan bahwa yang mendapatkan azab itu adalah pembuat gambar atau patung yang bernyawa.
Bahkan ada sebuah penegasan dari sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas yang memaparkan, “Kalau kamu harus melukis, maka lukislah pohon atau apa saja yang tidak bernyawa” (HR Bukhari 2225, Muslim 2110).
Tentu sahabat Ibnu Abbas terlebih dahulu menyampaikan hadits keharaman, barulah beliau memberikan jalan keluar karena memang tidak semua lukisan dan patung itu haram.
Selanjutnya juga ada pengecualian terkait hukum membuat tiruan dari objek bernyawa, yakni boneka. “Membuat boneka untuk anak-anak hukumnya boleh dalam Islam, meskipun berupa objek bernyawa,” kutipnya dari penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang ditulis dalam kitab Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz II/356.
Kebolehan itu bukannya tanpa dasar. Adalah hadits riwayat ‘Aisyah RA. ‘Dulu aku pernah bermain boneka-boneka berbentuk anak perempuan di dekat Nabi SAW, waktu itu aku punya beberapa teman yang suka bermain-main denganku” (HR Bukhari dan Muslim).
Ditambah perkataan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra. “Kami berpuasa (Asyura) setelah itu. Lalu kami pun menyuruh anak-anak kami turut berpuasa. Kami sengaja membuatkan mereka mainan boneka dari bulu. Jika salah seorang dari mereka menangis minta makan, kami memberi mainan boneka itu kepadanya, hingga akhirnya mereka tetap berpuasa sampai waktu berbuka” (HR Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136).
“(Sehingga) membuat boneka untuk anak-anak hukumnya boleh dalam Islam,” pungkasnya. [] Zainul Krian