Mediaumat.info – Fenomena banyaknya warga di negara-negara Arab yang memilih untuk menjadi ateis atau agnostik sehingga tidak lagi percaya pada agama atau konsep ketuhanan, dinilai karena negara tak serius melaksanakan kewajiban syariat Islam.
“Negara tidak serius melaksanakan kewajiban syariat agar menanamkan pendidikan Islam yang membuat rakyat mengenal utuh perintah syariat dan melihat keunggulan sistem Islam dibanding sistem lain,” ujar Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rochmah kepada media-umat.info, Sabtu (13/7/2024).
Tak hanya itu, tambahnya, sistem sosial dan ekonomi juga masih banyak mengadopsi dari luar Islam.
Bahkan, menurutnya, adanya lembaga negara yang memiliki posisi kunci seolah melegitimasi kebijakan pemerintah dengan stempel agama, turut menjadi faktor penyebabnya. Sebutlah Wilayatul Faqih di Iran yang isinya adalah beberapa orang ulama yang ditunjuk bertugas mengesahkan atau mencegah regulasi yang akan ditetapkan oleh negara.
Artinya, di era serba canggih saat ini, justru agama bukan menjadi pemecah permasalahan (problem solver), tetapi malah menjadi faktor penghambat, pengekang dan bahkan sumber krisis.
“Banyak warga Saudi dan Iran beralih agnostik hingga ateis karena mereka menganggap pemerintahan dengan rujukan agama Islam juga gagal mengayomi, adil dan memberi solusi tuntas atas masalah,” ulasnya.
Pula hukum-hukum syariat yang menonjol diadopsi negara malah berkaitan dengan pembatasan aktivitas perempuan, seperti pakaian Muslimah yang menutup aurat bahkan wajibnya niqab. Hal serupa juga berkenaan dengan pelaksanaan syariat dalam urusan sanksi (uqubat) atau pelanggaran aturan.
Padahal, negara-negara Arab dimaksud telah mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintahan Islam. Namun faktanya, tidak semua aspek pengaturan kehidupan rakyat diatur dengan politik Islam.
Adalah menurut jajak pendapat Gallup International pada 2012, sekitar lima persen warga Saudi menganggap diri mereka ateis, dan 19 persen lainnya tidak beragama.
Pun demikian di Iran yang berdasarkan survei Iranian’s Attitudes Toward Religion pada 2020, sekitar 47 persen warga Iran beralih dari beragama menjadi tidak beragama.
Tak berbeda jauh juga terjadi di Libanon yang mengalami peningkatan ketidakpercayaan terhadap agama. Menurut lembaga jajak pendapat Barometer Arab, tingkat keshalihan warga Lebanon menurun sekitar 43 persen selama satu dekade terakhir.
Minimnya Pemahaman Islam
Karena itu, kata Iffah lebih lanjut, munculnya fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari upaya penanaman pemahaman tentang Islam sebagai ideologi dan sistem hidup, yang sangat minim.
“Mereka mendapatkan Islam sebagai doktrin dan aturan yang mengekang,” tandasnya, yang berarti berpotensi muncul anggapan bahwa meski pemerintah berdasarkan agama sekalipun toh akhirnya juga menghasilkan rezim yang sama-sama zalim, despotik dan represif.
Ia menambahkan, praktik Islam yang parsial justru menghalangi, terwujudnya Islam rahmatan lil alamin. Misal pelaksanaan sanksi potong tangan bagi pencuri bakal dipandang tidak adil, ketika sistem ekonomi yang diterapkan masih kapitalistik sehingga memunculkan kesulitan lapangan pekerjaan hingga rendahnya pendapatan mayoritas umat dan memperkaya segelintir elite.
Makin runyam, ketidakadilan tersebut membuka peluang pihak di luar Islam untuk makin menguatkan stigma dan kampanye negatif terhadap ajaran Islam.
“Justru hukum Allah untuk memotong tangan dianggap tidak adil dan membuka peluang pihak di luar Islam untuk menguatkan stigma dan kampanye negatif terhadap ajaran Islam,” tandasnya.
Dengan demikian, mau tidak mau, wajib hukumnya negara memberlakukan Islam secara total di seluruh aspek kehidupan.
“Negara wajib menanamkan iman dan ketakwaan yang kokoh pada setiap individu dan wajib mempraktikkan sistem ekonomi (Islam) secara total,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat