Fenomena Sesajen Semeru dan Pentingnya Edukasi Pemahaman Islam

Mediaumat.id – Terkait fenomena sesajen yang sempat viral karena peristiwa di daerah erupsi Gunung Semeru beberapa waktu lalu, Peneliti Kajian Tsaqafah Islamiyah, Tafsir dan Balaghah Ajengan Irfan Abu Naveed, M.Pd.I. mengatakan pentingnya edukasi pemahaman Islam pada masyarakat.

“Ini pentingnya edukasi pada masyarakat. Ini kesempatan bagi kita melakukan edukasi terus, tugasnya para ulama, para dai tidak boleh diam menuntut keadilan, menyebarkan pemahaman Islam,” ujarnya dalam rubrik Afkar: Kemusyrikan, Bagaimana Ulama Menyikapinya? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Senin (17/01/2022).

Tak hanya sesajen, hal serupa, yakni spirit doll yang diyakini sebagai boneka arwah juga sempat menjadi perbincangan publik. “Fenomena sesajen ini, ini sebetulnya tidak bisa dilepaskan saya kira setali tiga uang paradigmanya berkaitan pula dengan kasus spirit doll,” jelasnya.

Dari dua fenomena itu saja, menurut Irvan, tidak bisa dilepaskan dari keyakinan khurafat di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, meyakini ada yang namanya arwah, hantu, pohon keramat, gunung keramat itu ada penunggunya dan bisa disembah.

Lantas, muncullah keyakinan ikutan berupa meyakini bahwa semua itu bisa mendatangkan keberuntungan serta menjauhkan kesialan. “(Sedangkan) sesajen itu diritualkan sebagai bagian dari ritual yang menggambarkan keyakinan tadi,” jelasnya.

Padahal, istilah seperti arwah maupun jin, di dalam kaidah keilmuan Islam termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh penginderaan manusia. “Maksudnya adalah perkara-perkara ghaib tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran kita maka tidak boleh diakal-akali,” tuturnya.

Sebabnya, yang lebih tahu tentang alam ghaib, hanyalah Allah SWT yang telah menciptakan itu semua. “Tidak bisa kita pahami itu semua berdasarkan maunya kita, akalnya kita. Berarti itu namanya apa delusi, halusinasi,” tegasnya lagi.

Khurafat, kata Irvan, telah digambarkan oleh para ulama secara syar’i yang mencakup segala macam kebatilan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Malah di dalam konsep Islam, dengan jelas diterangkan bahwa penguasa mempunyai kewajiban menjaga akidah umat termasuk fenomena sesajen maupun spirit doll.

Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.’ (QS. Al-Maidah: 90)

Menurut Irvan, frasa berkorban untuk berhala mirip dengan fenomena sesajen saat ini. “Menyembelih kambing, unta, disesajenkan, kalau bahasa kita,” jelasnya.

Sedangkan spirit doll serupa dengan mengundi nasib dengan panah. Bahkan dikisahkan zaman dulu ketika sedang safar, mereka tak hanya mengundi nasib dengan panah melainkan juga dengan burung. “Namanya thiyarah. Maka Nabi SAW mengatakan, ramalan dengan burung, syirik, hingga tiga kali,” urainya.

Begitu juga dengan jimat berupa benda mati. Para ulama empat mazhab, kata Irvan, bersepakat menegaskan haramnya benda-benda yang dijadikan sebagai jimat, pelindung, dsb.

“Ulama lintas mazhab dalam khazanah turats kaum Muslim, itu model jimat yang jelas disepakati keharamannya. Karena mengandung keyakinan syirik,” tandasnya.

Terlaknat

Di sisi lain, semisal pengorbanan binatang lantas kepalanya ditanam di pondasi sebuah bangunan yang diniatkan untuk mendekatkan diri pada jin, arwah, penunggu gunung dan yang serupa lainnya, maka perbuatan itu termasuk terlaknat.

“Laknat Allah bagi siapa saja yang menyembelih binatang untuk selain Allah SWT,” ucapnya menukil hadits riwayat Imam Muslim.

Al-Hafiz an-Nawawi as-Syafi’i juga mengatakan termasuk kekufuran kalau memang penyembelihan tersebut dimaksudkan sebagai ibadah kepada selain Allah SWT.

Sehingga tidak boleh sembarangan membuat atau pun mengarang sendiri bentuk ritual-ritual pengagungan. Yang ada malah dimurkai Allah SWT.

Bahkan di dalam kitab Kifayatul Akhyar, kitab kuning pesantrenan, menyembelih binatang yang diniatkan untuk selain Allah SWT, kata Irvan, itu tidak boleh.

Sama halnya yang dikatakan seorang ulama Nusantara, Syeikh Ihsan bin Dahlan di dalam kitab Sirajut Thalibin beliau mengatakan, di antara bagian bid’ah yang pertama, gambarannya tipuan setan terhadap orang awam.

“Meminyaki pagar-pagar rumah dengan wewangian, mengagungkan mata air, bebatuan, mengharapkan kesembuhan, terlaksana hajat, kata beliau, keburukan mereka dalam konteks perbuatan ini nyata,” tegasnya.

Maknanya, terang Irvan, fenomena-fenomena yang rentan merusak akidah umat dan tersebar di tengah-tengah masyarakat merupakan aib dari demokrasi di era kapitalisme.

Dengan demikian, menjadi tugas umat Islam menghadirkan penguasa sekaligus sistem pemerintahan yang mampu menjadikan sebuah kewajiban terkait dengan tugas menjaga akidah umat, yakni khalifah di dalam sistem Islam.

“Dengan adanya khalifah tadi maka terjaga darah, kehormatan, lebih jauh lagi akidah umat dari berbagai macam keburukan,” ujarnya.

Karena itu pula, Khalifah Umar bin Khattab sebagaimana disebutkan oleh al-Hafiz as-Suyuti di dalam kitab Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ al-Amru bil Ittibak, dikatakan Umar bin Khattab memberikan syarat kepada kaum ahlu dzimmah untuk tidak menampakkan syiar-syiar perayaan agama mereka di negeri kaum Muslimin. “Termasuk juga dalam hal syiar-syiar ritual tidak boleh muncul di tempat-tempat publik,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: