Mediaumat.id – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengatakan atmosfer (suasana) dari fenomena Citayam Fashion Week (CFW) merupakan suasana hedonistik kapitalistik.
“Memang atmosfernya atmosfer yang hedonistik kapitalistik. Kemudian di dalam atmosfer yang hedonistik kapitalistik ada pengakuan-pengakuan terhadap fenomena ini, yang pengakuan itu, itu mengerucut pada pujian, mengerucut pada undangan, wawancara bahkan pemberian beasiswa, bahkan difasilitasi,” ungkapnya dalam acara Diskusi Online Media Umat: Hijrah versus Hedon, Ahad (31/7/2022) di kanal YouTube Media Umat.
Ia menilai tidak masuk akal seorang menteri mempersilahkan trotoar di depan kantornya digunakan untuk fashion show. Namun, ironisnya di saat yang sama kegiatan ngaji di Malioboro dikecam bahkan menganggap itu bukan tempat untuk ngaji.
“Ngaji itu kan diam di pinggir trotoar, itu kan sesuatu yang bagus, itu dikecam! Sementara yang ini malah difasilitasi oleh pejabat tinggi,” tutur UIY.
“Jadi kebalik-balik. Jadi sekarang ini anak muda itu sudah tidak memerdulikan (You dapat medali berapa untuk olimpiade matematika?), yang penting sekarang ini kita punya konten viral atau tidak,” tambahnya.
Selain itu, fenomena tersebut dinilai UIY dipengaruhi oleh medium (sarana/media sosial). Media Sosial tersebut yang membuat orang itu memiliki independensi terhadap dunia luar dirinya.
“Jaman dulu kita sangat tergantung kepada (kalau koran ya tentu saja kepada penerbit koran), kalau televisi kepada pemilik televisi itu. Ini hari itu semua itu sudah tidak ada,” jelasnya.
Ia mengatakan, yang membuat orang kecanduan itu ketika menyaksikan, membaca atau mendengar komen-komen dari apa yang diunggahnya, bahkan sekadar mendapat jempol berderet-deret sudah senang luar biasa.
UIY tidak pernah menyalahkan perkembangan teknologi, media sosial. Karena menurutnya, teknologi itu seperti pisau bermata dua. Memberikan banyak manfaat bersamaan juga memberikan banyak mudharat.
“Pengguna inilah yang memberikan ironi kepada fenomena media sosial yang makin membuat jurang antara manfaat dan mudharat. Karena itulah saya kira ini fenomena yang tak terhindarkan,” ungkapnya.
Selain dipengaruhi oleh penggunanya, fenomena media sosial juga dipengaruhi oleh atmosfer yang itu merupakan budaya (culture) yang di situ ada pihak yang memiliki otoritas.
Celakanya, lanjut UIY yang memiliki otoritas sekarang ini baik otoritas menyangkut komunikasi, otoritas menyangkut ekonomi, politik dan juga menyangkut kebudayaan, agama, itu tidak memiliki arah yang mencoba untuk mengeliminasi fenomena-fenomena buruk yang ada, bahkan beberapa hal seperti mendapatkan apresiasi.
Karena itu, UIY melihat ini problem besar karena kontruksi dari maindset resmi negara (otoritas) itu kan berarti pro terhadap fenomena ini.
“Kalau pro terhadap fenomena ini maka Jeje kemudian Bonge pasti tidak akan pernah merasa salah, dia menjadi benar. Ketika menjadi benar maka jangan salahkan kalau kemudian berderet-deret di belakangnya itu sudah antre untuk menjadi Bonge-Bonge dan Jeje-Jeje yang lain,” pungkasnya.[] Ade Sunandar