Mediaumat.id – Menanggapi fatwa kontroversial yang menghalalkan bunga bank dengan dasar merupakan bagian dari investasi (istitsmar) dana masyarakat, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyampaikan begini.
“Investasi itu sendiri merupakan semua kegiatan untuk mengembangkan harta, tanmiyatul maal, yang dapat saja hukumnya halal dan dapat saja haram,” ujarnya dalam Kuliah Umum: Benarkah Bunga Bank Bisa Halal? via Zoom Meeting, Rabu (30/3/2022).
Artinya, sambung Kiai Shiddiq, memang ada investasi yang haram menurut syariah. Meski keberadaannya mungkin mendapat legalitas dari negara. “Di Indonesia, pinjaman online (pinjol) ada yang legal dan ada yang ilegal menurut OJK. Padahal semuanya haram menurut syara’,” ungkapnya memisalkan.
Sebelumnya, sebagaimana diberitakan media massa di Timur Tengah, Ahad (27/3), Dr. Syauqi ‘Alam, mufti Republik Mesir mengeluarkan fatwa seputar bunga bank yang isinya sebagai berikut,
‘Tidak ada keharaman atau syubhat dalam menabung di bank, karena transaksi bank adalah investasi dana masyarakat, yang berbeda dengan apa yang ada dulu. Investasi ini diatur dengan undang-undang yang sangat jelas, yang tidak ada hubungannya dengan pinjaman (qardh), karena yang ada hanyalah investasi.’
Dr. Syauqi juga menambahkan, ‘Bertransaksi dengan perusahaan yang tunduk pada hukum negara akan memungkinkan pihak yang dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya. Adapun transaksi antar individu dengan tambahan bunga pinjaman, nah itulah riba, dan sebaiknya pinjaman tidak dilakukan antar individu.’
Berangkat dari anggapan bunga bank sebagai bagian dari investasi dana masyarakat, lanjut Kiai Shiddiq, seakan-akan berbagai macam transaksi dalam investasi otomatis menjadi halal semua.
Padahal tidak demikian. “Prof. Dr. Ali As-Salus mengkritik orang yang membuat kategori investasi sebagai satu jenis saja dan semua dihukumi halal,” kata Kiai Shiddiq menyampaikan, bahwa fatwa bunga bank halal telah mendapatkan kritik dari seorang pakar fikih dari Universitas Syariah, Qatar.
Kata Prof. Ali lebih lanjut, terang Kiai Shiddiq, bentuk investasi tidak satu jenis saja, melainkan banyak macamnya. Baik dari redaksi-redaksi akadnya, akibat-akibat hukumnya, syarat-syaratnya, dst.
Semisal, di dalam akad qardh (pinjaman), utang-piutang, atau titipan, kutip Kiai Shiddiq, terdapat macam-macam akad investasi. Maka itu, dari masing-masing jenis harus dipahami secara tersendiri, sebagaimana penjelasan di dalam kitab Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyyah al- Mu’ashirah, hlm. 226.
“Di situlah kekeliruan fatal Dr. Syauqi ‘Alam,” cakap Kiai Shiddiq tentang fatwa halal bunga bank yang menuai kontroversi itu.
Padahal secara fakta, investasi bermacam-macam bidang usahanya. Sebutlah investasi di bidang produksi khamr atau minuman keras, peternakan babi, prostitusi, pornografi, perjudian maupun narkoba. “Apakah semua bidang investasi itu halal hanya karena semuanya menetapkan investasi? Tidak bukan?” tepisnya.
Argumen Lain
Kemudian, selain anggapan bunga bank halal sebab bagian dari investasi, ternyata Dr. Sauqi ‘Alam juga berargumen lain, yakni karena ada penjaminan bank untuk tabungan yang disetor oleh nasabah. Berikut argumennya,
‘Sesungguhnya bertransaksi dengan perusahaan yang tunduk negara, akan memungkinkan pihak yang dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya.’
Sementara dalam dunia perbankan, peluang pengembalian tabungan, ternyata dimungkinkan karena memang ada penjaminan dari pihak bank.
Sehingga dengan adanya penjaminan, akad yang ada akan menjadi rusak. “Dengan adanya penjaminan, maka setoran uang dari nasabah akan berubah sifat,” timpalnya dengan menegaskan bahwa hal demikian tidak boleh dalam syariah Islam.
Maknanya, setoran yang semula dihukumi sebagai modal (ra’sul maal) dalam akad syirkah (kerja sama usaha antar nasabah dengan bank) akan berubah menjadi pinjaman (qardh), karena ada penjaminan itu.
Semestinya tidak begitu. “Dalam akad syirkah tidak boleh ada penjaminan yang diberikan oleh pihak pengelola modal (bank), yakni jika terjadi kerugian, maka modal yang dijamin oleh bank akan dikembalikan kepada nasabah,” urainya.
Di sisi lain, sambung Kiai Shiddiq, Dr. Sami al-Suwailem, seorang ahli keuangan syariah yang kini beralamatkan di Jeddah, Arab Saudi pernah ditanya, ‘Bagaimanakah hukumnya jika ada lembaga keuangan yang menerima setoran modal dari investor, lalu mengelola modal investor. Dan lembaga keuangan itu memberikan jaminan terhadap modal tersebut?’
Dr. Sami pun menjawab, ‘Jika penjamin adalah lembaga yang sama yang mengelola investasi, maka transaksi ini diharamkan dan tidak diperbolehkan. Hal ini karena lembaga tersebut menerima modal dari investor dan menjamin modal itu bagi investor dengan perjanjian, bahwa lembaga akan mengelola modal tersebut dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai kesepakatan dengan pihak investor.’
Dengan kata lain, ketika lembaga dimaksud menerima setoran modal, seraya memberikan penjaminan kepada investor maka hakikat dari akad itu adalah pinjaman. “Statusnya sudah berubah dari modal menjadi pinjaman, karena ada penjaminan dari pihak pengelola modal,” jelasnya.
Maka konsekuensi hukum selanjutnya, kata Kiai Shiddiq, keuntungan yang diperoleh dari pinjaman itu tentu bukanlah laba (profit), melainkan riba.
Dengan demikian, dengan adanya penjaminan modal oleh pihak bank kepada investasi nasabah, sekali lagi ia mengutip kitab Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah hlm. 160, justru telah merusak investasi.
Lantas Kiai Shiddiq pun menuturkan, pihak investorlah yang menanggung kerugian dan harus siap untuk itu. Sebagimana sabda Nabi SAW yang artinya, ‘Keuntungan itu diimbangi dengan kesiapan menanggung risiko kerugian’ (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hal itu juga sesuai dengan kaidah fikih, ‘Kesiapan menanggung kerugian diimbangi dengan hak memperoleh keuntungan’ (M. Mushthafa az-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa tathbiqatuha fi al-Mazhab al-‘Arba’ah 1/543).
Investasi yang Halal
Terakhir, Kiai Shiddiq merasa perlu menjelaskan, setidaknya terdapat 4 kriteria investasi yang halal. Pertama, usahanya tidak boleh di bidang yang diharamkan syariat. Seperti simpan pinjam ribawi, produksi miras, prostitusi, narkoba, dsb.
Kedua, dalam mengamalkan akad syirkah atau akad-akad syar’i lainnya, harus dengan memenuhi segala rukun-rukun dan syarat-syaratnya, termasuk investor harus siap menanggung kerugian.
Ketiga, tidak ada penjaminan modal oleh pihak pengelola modal. Dan yang keempat, bagi hasilnya dinyatakan dalam bentuk persentase dan laba (profit sharing), bukan dinyatakan dalam persentase dari modal, atau dalam bentuk lump sum atau jumlah nominal tertentu yang ditetapkan.[] Zainul Krian