Mediaumat.id – Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menegaskan, normalisasi hubungan yang terjadi antara Iran-Saudi pada Maret lalu setelah tujuh tahun putus hubungan, masih di bawah kendali kepentingan Amerika Serikat.
“Dalam hal ini, pantas kita mencurigai di balik persatuan, di balik hubungan ‘kemesraan’ antara Saudi dan Iran ini sesungguhnya ada kepentingan Amerika di sana. Artinya semuanya tidak bisa dilepaskan dari restu kekuatan global yang mendominasi Timur Tengah yaitu Amerika Serikat,” ungkapnya kepada Mediaumat.id, Jumat (14/4/2023).
Menurutnya, tidak mungkin tindakan-tindakan Saudi maupun tindakan-tindakan Iran itu tidak dalam restu Amerika Serikat.
“Karena kedua negara ini baik Saudi maupun Iran sesungguhnya adalah dua negara yang kebijakan atau politik luar negerinya berada di bawah payung Amerika Serikat,” ujarnya.
Meskipun penampakannya terkadang seolah-olah bertentangan dengan kepentingan Amerika, kata Farid, seperti Saudi misalkan seperti bertentangan dengan Amerika dalam hal menolak kenaikan harga minyak dunia atau OPEC, demikian juga Iran yang seolah-olah bertentangan dengan kepentingan Amerika. “Tapi kalau kita lihat, sejatinya dua negara ini, selama ini manuver-manuver mereka itu sesungguhnya tidak bisa lepas dari kekuatan global,” katanya.
Farid mengatakan, Saudi sampai saat ini tetap dalam dominasi Amerika.
“Adapun kemarin, Bin Salman yang seolah-olah bertentangan dengan Amerika itu sesungguhnya di belakangnya itu ada perseturuan antara Partai Republik dan Partai Demokrat Amerika. Bin Salman mendapat dukungan dari Partai Republik yang memang dikendalikan sebagian besar oleh bisnisman minyak. Jadi, tidak benar-benar muncul dari keinginan Saudi sendiri,” bebernya.
Demikian juga dengan Iran, lanjutnya, dalam beberapa permainan-permainan mereka dalam kawasan teritorial Timur Tengah dan sekitarnya itu tidak bisa lepas dari kepentingan Amerika.
“Sebagai contoh Iran itu berperan untuk mendukung kelompok Houthi. Sementara kelompok Houthi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya Amerika untuk ‘membakar’ Yaman dengan isu Sunni dan Syiah. Untuk apa? Untuk menggeser pengaruh Inggris di Yaman,” terangnya.
Demikian juga ketika pemerintahan boneka negara Irak terbentuk, yang itu didukung oleh Amerika, menurut Farid, Iranlah negara yang pertama kali mendukungnya.
Juga ketika pemerintahan boneka Afghanistan di bawah pimpinan Hamid Karzai terbentuk pertama kali, jelas Farid, Iranlah termasuk negara yang mendukungnya.
“Jadi, permainan Iran ini tidak bisa lepas dari kerangka kepentingan Amerika meskipun tampak berseberangan dengan Amerika,” tambahnya.
Farid mengatakan, ini pulalah yang harus dibaca ketika melihat semakin mesranya Saudi dan Iran. “Kita harus patut curiga di balik semua ini ada kepentingan Amerika Serikat,” tegasnya.
Kepentingan AS
Menurutnya, kepentingan Amerika Serikat dalam hal ini antara lain:
Pertama, terkait dengan Cina. “Perlu kita pahami bahwa ditampakkan sponsor utama dari kemesraan antara Saudi dan Iran ini adalah Cina,” jelasnya.
Menurut Farid, ini sebenarnya upaya Amerika untuk memberikan peran global yang lebih besar kepada Cina. Bukan dalam rangka memperkuat Cina, tapi untuk menunjukkan bahwa seolah-olah kalau Cina ingin berperan secara global itu tetap harus dalam kerangka kepentingan Amerika. Sampai batas-batas tertentu yang tidak mengancam kepentingan Amerika tentunya. Sebagaimana Amerika pernah memberikan peran global lebih pada Rusia terkait dengan kasus Suriah yang sampai batas-batas tertentu.
“Jadi, Amerika ingin memberikan semacam ruang publik (peran global) untuk Cina. Dan ini juga sekaligus untuk kepentingan domestik Joe Biden sendiri,” ungkapnya.
Menurutnya, Joe Biden ingin menunjukkan bahwa hubungan yang semakin erat antara Arab Saudi dan Iran itu bukanlah didukung secara terbuka oleh Amerika, tapi karena ada peran Cina. Padahal peran Cina ini sendiri sesungguhnya diberikan oleh Amerika Serikat.
Dalam konteks hubungan dengan Israel, menurut Farid, hubungan mesra Saudi dan Iran ini pada prinsipnya adalah untuk membendung keinginan Perdana Menteri Netanyahu untuk menyerang Iran.
“Kenapa Perdana Menteri Israel Netanyahu hendak menyerang Iran? Karena dia sedang menghadapi persoalan atau konflik domestik yaitu demonstrasi dari rakyat negaranya sendiri terkait dengan keinginan untuk perubahan sistem pengadilan. Itu dianggap akan menguntungkan dan melindungi Netanyahu terkait dengan kasus korupsinya,” ujarnya.
Farid mengatakan, Amerika itu tidak menginginkan Israel saat ini berkonfrontasi secara terbuka terhadap Iran, apalagi menyerang Iran. Karena saat ini, Amerika sedang berkonsentrasi dalam krisis Ukraina.
“Joe Biden juga tentu tidak ingin menunjukkan bahwa pemerintahannya itu tidak mendukung Israel. Ini terkait dengan sikap Joe Biden berhadapan dengan lobi-lobi Yahudi. Namun Joe Biden sendiri tidak menginginkan Israel menyerang Iran. Karena itu, apa yang dilakukan sebagai barrier-nya yaitu membangun kemesraan antara Saudi dan Iran,” ungkapnya.
Dan ini, menurut Farid, tentu akan membuat tindakan Israel untuk mengkriminalisasi Iran itu semakin tidak memiliki legitimasi, yakni untuk menjadi alasan menyerang Iran. Karena akan dibangun opini bahwa Iran juga melakukan hubungan mesra dengan Saudi, tidak seperti selama ini opini yang dibangun oleh Israel bahwa Iran ini ancaman buat teritorial Timur Tengah.
Sekali lagi, Farid ingin menegaskan permainan-permainan semua ini tidak bisa lepas dari kepentingan Amerika karena itu persatuan yang tampak mesra ini sesungguhnya persatuan yang semu, untuk kepentingan Amerika.
“Dan persatuan yang sejati itu akan terwujud kalau umat Islam baik Saudi, Iran, Afghanistan, India, Pakistan dan negeri-negeri Islam yang lain, bersatu kepentingannya berdasarkan akidah Islam dan kepentingan umat Islam di bawah naungan khilafah Islam,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it