“Bagaikan ‘senjata pemusnah massal’ terhadap hak politik rakyat yang tidak hanya berimplikasi pada pembubaran organ masyarakat, namun juga berpotensi mengkriminalkan anggotanya baik yang langsung maupun yang tidak langsung melakukan perbuatan yang dilarang dalam Perppu,” ujar Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FH UI) Mustafa Fakhri dalam keterengan persnya, Jum’at (14/7/2017) di Jakarta.
Bagaimana tidak, lanjut Mustafa, Pasal 82A Perppu tersebut menyatakan bahwa “setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) dapat “dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”.
Menurut Mustafa, hal ini jelas bertentangan dengan Konstitusi RI yang telah memberikan jaminan bagi kemerdekaan berserikat dan berkumpul sebagai salah satu hak asasi yang diakui secara universal. Bahkan hak menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan juga menjadi salah satu yang dijamin hak konstitusionalnya sejak masa kemerdekaan RI.
“Oleh karena itu, jika Perppu dimaksud dibiarkan hidup, maka ‘senjata’ ini tidak hanya akan mematikan Ormas yang belakangan menjadi hot issue saja, tapi akan juga entitas lainnya yang diinisiasi oleh warga negara, bahkan termasuk Ormas yang menggunakan Pancasila sebagai nama organisasinya,” prediksi Mustafa.
Akademisi hukum ini juga menyatakan Perppu ini membuka peluang kepada Pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan Ormas yang secara subyektif dianggap Pemerintah bertentangan dengan Pancasila, tanpa melalui proses peradilan. Hal ini sama artinya dengan kemunduran demokrasi di tanah air, jauh sebelum ide reformasi terpikir oleh mahasiswa.
“Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak kepada DPR untuk menolak Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut pada masa sidang berikutnya, serta turut mendukung upaya dari kelompok masyarakat untuk memohon pembatalan norma-norma yang represif tersebut ke hadapan Mahkamah Konstitusi RI,” pungkasnya. [] Joko Prasetyo