Mediaumat.id – Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai untuk menjadi negara besar, Indonesia harus mengadopsi ideologi Islam.
“Untuk menjadi negara besar dan kuat maka negara harus mengadopsi satu ideologi yang memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia dan mengaitkan segala bentuk kebijakan, termasuk kebijakan ekonomi industri berdasarkan ideologi tersebut. Saat ini tidak ada ideologi yang kokoh selain Islam. Karena itu negara ini harus mengadopsi ideologi Islam,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Selasa (11/1/2022).
Menurutnya, dengan mengadopsi ideologi Islam, maka Indonesia akan memiliki visi untuk menjadi negara yang kuat karena bertanggung jawab untuk tidak tunduk pada dominasi asing dan berkewajiban untuk menyebarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia dan mengatasi hambatannya dengan jihad. “Sehingga negara ini akan memiliki industri kuat, termasuk dalam hal industri militer. Dengan demikian, industri-industri lain juga akan maju,” jelasnya.
Selain itu, kata Ishak, untuk menjadi negara besar, Indonesia juga harus memanfaatkan seluruh potensi sumber daya, termasuk SDA digunakan untuk memajukan negara ini. “Kalau seperti saat ini, yakni batu bara dilarang diekspor atau diekspor mengikuti hasrat produsen swasta maka negara ini akan sulit menjadi mandiri dan kuat,” ungkapnya.
Ishak menilai, kebijakan ekspor batu bara Indonesia menunjukkan bahwa regulasi di Indonesia dengan mudah dapat ditarik ulur dan tidak didesain dengan matang, sehingga mudah berubah-ubah.
“Hal ini karena regulasi tidak dibuat berdasarkan proses kajian yang mendalam untuk mendukung kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat, tetapi sarat dengan kepentingan pemodal, yang dalam kasus ini adalah pengusaha yang bergerak di sektor batu bara,” bebernya.
Menurutnya, meskipun kebutuhan domestik terhadap batu bara sangat besar khususnya untuk PLN namun karena harga ekspor lebih besar maka produsen swasta lebih memprioritaskan untuk ekspor, meskipun seperempat dari produksinya harus disisihkan untuk permintaan domestik dalam bentuk domestic market obligation (DMO). “Namun aturan itu tidak diindahkan karena dendanya lebih rendah dibandingkan dengan profit ekspor mereka,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it