Mediaumat.info – Meski terbatas pada bangunan dengan luas di atas 200 meter persegi, kebijakan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor menjadi 2,4 persen dari semula 2,2 persen, dinilai perlu dikritisi terutama dari perspektif Islam ideologis.
“Perlu dikritisi, terutama dari perspektif Islam ideologis,” tegas Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Ahad (15/9/2024).
Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, penaikan PPN yang berlaku mulai tahun depan ini didasarkan atas UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sekadar ditambahkan, di dalam sistem kapitalis, pajak memang menjadi sumber pendapatan utama pemerintah, termasuk di Indonesia yang saat ini mengikuti pola negara-negara kapitalis lainnya.
Makanya, dalam realitasnya pemerintahan terus menambah berbagai pungutan kepada rakyat, seperti pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), Tapera, maupun asuransi wajib kendaraan.
Di saat yang sama, diberlakukan penaikan PPN secara umum dari 11 menjadi 12 persen pada 2025. Serta, seiring dengan pemberlakuan kelas rawat inap standar (KRIS) mulai Juni 2025, sebagaimana diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, misalnya, iuran BPJS pun berpeluang naik pada 2025.
“Bisa, (iuran) bisa naik. Dan saat ini sudah waktunya juga (iuran) naik,” kata Ali Ghufron di Krakatau Grand Ballroom TMII, Jakarta Timur, Kamis (8/8).
Celakanya, kebijakan ini diberlakukan meskipun kondisi ekonomi masyarakat sedang sulit. Dengan kata lain, bakal tetap dibebankan atas seluruh rakyat termasuk kelas menengah yang secara statistik selama lima tahun terakhir menurun, ditambah semakin besarnya jumlah penduduk miskin dan rentan miskin.
Untuk diketahui, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) akhir Agustus lalu, proporsi kelas menengah Indonesia pada tahun 2024 sebanyak 47,85 juta penduduk lebih rendah dibandingkan pada tahun 2019, yakni sebanyak 57,33 juta penduduk.
Sementara itu, jumlah penduduk kategori menuju kelas menengah (aspiring middle class) terus bertambah mencapai 137,5 juta jiwa pada tahun 2024 sementara di tahun 2019, jumlahnya 128,85 juta jiwa.
Karena itu, kata Ishak lebih lanjut, pemerintah harusnya dapat mengurangi pengeluaran yang tidak efektif, seperti pembayaran bunga utang yang telah mencapai 20 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat, akibat meningkatnya utang yang mencapai Rp8.500 triliun dan diperkirakan akan bertambah hingga Rp775 triliun.
Di saat yang sama, pemerintah mampu mengoptimalkan penerimaan dari pengelolaan sumber daya alam yang saat ini dikuasai oleh swasta termasuk asing.
Sistem Islam
Adalah negara yang menerapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan, kata Ishak menawarkan, pajak hanya dikenakan ketika penerimaan negara kurang untuk membiayai kebutuhan yang bersifat wajib, seperti gaji pegawai, kewajiban jihad, penanganan bencana, santunan fakir miskin, dan infrastruktur yang mendesak. Itupun, kata Ishak menegaskan, hanya dikenakan kepada orang kaya.
Tetapi, sebagaimana disebutkan, sebelum memberlakukan pungutan pajak, negara wajib terlebih dahulu mengoptimalkan penerimaan dari sumber-sumber lain, seperti pengelolaan sumber daya alam yang merupakan milik umum, dalam hal ini minyak dan gas bumi, batubara, nikel, emas, tembaga, timah, dsb.
“Dengan demikian, beban pajak yang berlebihan dapat dihindari dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin sesuai prinsip keadilan dalam Islam,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat