FAKKTA Ungkap Bahaya Sepak Terjang Cina di Indonesia

Mediaumat.id – Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak memaparkan, di negara mana pun, termasuk Indonesia, sepak terjang Cina adalah mengeruk keuntungan dengan berbagai cara.

“Sepak terjang Cina di Indonesia sebagaimana di negara-negara lainnya adalah melakukan berbagai cara untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya seminimal mungkin,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (1/11/2022).

“Termasuk pada investasi langsung dan perdagangan,” sambungnya.

Dengan kata lain, bermacam penanaman modal maupun proyek dari negara tersebut bakal membahayakan negara yang menjadi tujuan investasi dimaksud.

Terlebih, lanjut Ishak, Cina yang kini mengalami masalah ekonomi serius akibat krisis properti dan pandemi Covid-19, terus berupaya memperkuat pengaruh ekonominya di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

“Cina, misalnya, telah menjadi eksportir terbesar ke Indonesia, dengan pangsa pasar 33 persen (2021),” ungkapnya.

Untuk informasi, sebagaimana dilansir Dataindonesia.id dengan judul ‘Cina Banjiri Impor ke Indonesia pada 2021’, nilai impor nonmigas dari Cina ke Indonesia sebesar USD55.736 juta sepanjang 2021.

Jumlah itu menjadi yang terbesar dibandingkan dari negara lainnya, Jepang misalnya, di urutan berikutnya hanya sebesar USD14,61 dan Thailand USD9,08 juta.

Ishak melihat, dari sisi investasi dan berdasarkan aliran modal asing langsung tahun 2021, ternyata Cina menempel Singapura sebagai negara asal investasi asing terbesar.

Sehingga dalam hal ekonomi misalnya, Cina telah melampaui Amerika Serikat (AS),  Inggris, Jepang, Hongkong yang pernah menjadi jawara penyumbang investasi langsung di Indonesia. “Indikasi lainnya terlihat pada maraknya investasi Cina pada pembangunan infrastruktur dan pertambangan dalam beberapa tahun terakhir,” imbuhnya.

Begitu pula dari sisi pinjaman luar negerinya. “Dari sisi pinjaman luar negeri, meskipun masih di bawah Singapura, Amerika, dan Jepang, pinjaman dari Cina meningkat pesat dari tahun ke tahun,” tandasnya, seraya menilai perekonomian Cina tak lagi berbasis sosialisme, tetapi lebih kepada kapitalisme.

Dikuasai Cina

Di sisi lain, lanjut Ishak, Cina merupakan investor utama industri pengolahan nikel di Indonesia, termasuk yang tersebar di Pulau Sulawesi dan Maluku.

“Dengan dukungan regulasi yang melarang ekspor bijih nikel dan mewajibkan pengolahan bijih nikel dalam negeri, pabrik smelter yang dikuasai perusahaan Cina mendapat untung besar,” ujarnya, senada dengan pengakuan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Jusuf, Indonesia adalah salah negara penghasil nikel terbesar di dunia. Tapi pekerjanya, mulai dari hulu sampai hilir kebanyakan tenaga kerja asing (TKA) asal Cina.

“Ini daerah kaya nikel, tapi yang kerja semua Cina dari daratan sampai tukang las,” sebut Jusuf dalam peringatan HUT 70 Tahun Kalla Group, di Grand Ballroom Kempinski Jakarta, Jumat (28/10).

Pernyataan tersebut, kata Ishak menambahkan, juga sejalan dengan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tahun 2017.

Berdasarkan data KSPI yang diperoleh dari Posko Pengaduan Tenaga Kerja Asing Ilegal, per tanggal 23 Januari 2017, jumlah TKA ilegal dari Cina di seluruh Indonesia mencapai sekitar 9 ribu orang.

Kebanyakan TKA ilegal dari Cina ini bekerja di perusahaan-perusahaan di Provinsi Sulawesi Tengah. Disebutkan di sana total TKA ilegal asal negeri tirai bambu berjumlah lebih dari 6 ribu orang.

Jenis pekerjaan yang dilakukan para pekerja migran ilegal ini pun beragam. Misalnya, di sebuah perusahaan pengolah nikel, para pekerja asal Cina ini ada yang bekerja sebagai marketing, operator produksi, hingga juru masak.

Selain itu, banyak dari tenaga kerja asing ilegal ini juga bekerja di Provinsi Jawa Timur dan Banten, yang jumlahnya mencapai sekitar 2 ribu orang, berikut posisi pekerjaan dari administrasi kepegawaian sampai pengurus gudang.

Ditengarai, masifnya gelombang TKA asing, khususnya dari Cina ini karena Perpres Nomor 20 tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Di saat bersamaan, perpres itu dinilai sejumlah pihak sebagai ‘jalan’ derasnya TKA ilegal masuk ke Indonesia.

Bahaya Lainnya

Lantas terkait harga beli perusahaan pengolahan bijih nikel itu, kata Ishak, lebih murah daripada harga jual di pasar internasional. “Harga beli perusahaan-perusahaan smelter tersebut lebih rendah hingga 30 persen dibandingkan harga jual di pasar internasional,” tandasnya.

Belum lagi kisruhnya pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang menambah buruknya sepak terjang investasi Cina.

Awalnya, beber Ishak, investor Cina menawarkan biaya yang lebih rendah, yakni USD5,5 miliar dibandingkan dengan tawaran Jepang sebesar USD6,2 miliar. “Pemerintah juga tidak perlu melakukan penjaminan dari APBN seperti yang ditawarkan oleh Jepang,” imbuhnya.

Namun, pasca Cina memenangkan tender, biaya proyek membengkak hingga USD1,9 miliar atau sekitar Rp29 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar dolar AS). “Suku bunga utang Cina juga lebih mahal, yaitu 2 persen dibandingkan Jepang sebesar 0,1 (persen) per tahun selama 40 tahun,” sambungnya.

Padahal, dengan begitu pemerintah Indonesia akhirnya ikut menanggung pembengkakan tersebut. Mirisnya, agar proyek tetap kelar, pemerintah kini melobi agar Cina Development Bank (CDB) bersedia memberikan utang untuk menutupi sebagian pembengkakan tersebut.

Dengan demikian, tutur Ishak, upaya Cina dalam mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui investasi dan perdagangan di Indonesia itu tidak jauh berbeda dibandingkan dengan yang dilakukan di negara-negara lain, khususnya di Afrika dan negara-negara Asia.

“Melalui Skema Belt and Road Initiative (BRI) Cina, yang diluncurkan Xi Jinping pada 2013, lebih dari seratus negara telah menandatangani perjanjian dengan Cina untuk bekerja sama dalam proyek-proyek BRI seperti investasi kereta api, pelabuhan, jalan raya, dan infrastruktur lainnya,” ulasnya.

Padahal seperti halnya negara-negara pengemban kapitalisme lainnya, kata Ishak, Cina memanfaatkan investasi tersebut untuk menjerat mereka dengan bunga utang dengan berbagai persyaratan. Di antaranya, kewajiban negara debitur untuk menggunakan tenaga kerja dan bahan baku dari Cina.

“Sebagian negara debitur yang terekspos disyaratkan untuk menyerahkan pengelolaan sumber daya alam, termasuk mengekspornya ke Cina, seperti yang dialami oleh Angola, produsen minyak terbesar di Afrika,” bebernya.

Alhasil, kebijakan perangkap utang (debt trap policy) dan investasi untuk mengeksplotiasi ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia, menjadikan perekonomian negara-negara tersebut semakin rapuh, bergantung pada asing, serta semakin rawan tertimpa resesi bahkan krisis, seperti yang dialami oleh Sri Lanka.[] Zainul Krian

Share artikel ini: