FAKKTA: Tak Resesi, Bukan Berarti Indonesia Baik-Baik Saja

 FAKKTA: Tak Resesi, Bukan Berarti Indonesia Baik-Baik Saja

Mediaumat.id – Ekonom dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.Si. menuturkan, meski nantinya resesi tidak terjadi, bukan berarti ekonomi di Indonesia baik-baik saja.

“Kalau meskipun nanti resesi tidak terjadi, namun bukan berarti ekonomi kita aman-aman saja,” pesannya dalam Kajian Ekonomi Islam: Risiko Resesi Global 2023 Makin Nyata, Indonesia Seperti Apa? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Sabtu (22/10/2022).

Memang, lanjutnya, banyak pihak mengatakan Indonesia tidak akan terkena resesi pada 2023, meski berbagai lembaga keuangan internasional memperkirakan dunia akan mengalami resesi tahun depan.

Ia sendiri pun menyebutkan kemungkinannya masih 50 persen. “Saya melihat sekarang ini masih fifty-fifty resesi kemungkinan Indonesia itu,” ucapnya.

Namun lepas dari itu, Hatta kembali mengingatkan betapa banyak permasalahan terkait perekonomian di negeri ini yang bahkan terjadi sebelum resesi yang berarti kondisi ekonomi negara sedang memburuk, terlihat dari produk domestik bruto (PDB) hingga pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut tersebut.

Sebutlah 100 juta lebih penduduk Indonesia yang masih berpendapatan sekitar satu juta rupiah per bulan. “Itu belum resesi. Belum resesi saja sudah begitu,” ungkapnya, terkait jumlah penduduk miskin yang diperoleh dengan menggunakan data Bank Dunia berikut ketentuan batas kemiskinan yaitu penghasilannya di bawah 2,15 dolar Amerika per hari.

Dengan asumsi kurs 1 dolar sama dengan 15.600 rupiah, maka diperoleh angka Rp33.540 per hari atau Rp1.006.200 per kapita per bulan.

Bahkan untuk diketahui, World Bank atau Bank Dunia sebelumnya mengeluarkan laporan yang menyebut sebanyak 13 juta warga kelas menengah bawah di Indonesia jatuh dalam kemiskinan. Hal ini menyusul adanya pengubahan ketentuan baru mengenai hitungan paritas daya atau purchasing power parities (PPP).

Mengutip laporan Bank Dunia berjudul East Asia and The Pacific Economic Update October 2022: Reforms for Recovery pada 29 September 2022, dasar hitungan baru telah disesuaikan berdasarkan PPP 2017, sedangkan yang lama menerapkan PPP 2011.

Mengacu pada PPP 2017, ditetapkan bahwa batasan kemiskinan ekstrem yang sebelumnya adalah berpendapatan 1,90 dolar Amerika per harinya, menjadi sebesar 2,15.

“Jadi ekonomi yang tidak resesi bukan berarti kemudian kita aman atau normal-normal saja,” ulasnya kembali.

Contoh lain misalnya, kendati negeri ini capaian produksi batu baranya menembus angka 606,22 juta ton, sebagaimana catatan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2021, nyatanya perusahaan pelat merah selevel PLN saja teriak kekurangan batu bara di awal 2022 lalu.

Padahal jumlah capaian itu meningkat 7,2 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar 565,69 juta ton.

Padahal pula, kata Hatta, total yang diperlukan PLN, BUMN yang bergerak di bidang energi itu hanya sekitar 130 juta ton. “Itu saja menjadi masalah, dan itu belum resesi,” lontarnya, sembari menyebut kondisi itu seperti pada zaman penjajahan.

Pun demikian dengan polemik di awal-awal 2022 mengenai CPO (crude palm oil), salah satu jenis minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit. “Belum resesi itu,” selanya.

Dengan demikian, Hatta lagi-lagi menekankan, meski tidak resesi bukan berarti ekonomi kita normal atau baik-baik saja. “Ada banyak permasalahan yang terjadi,” sebutnya.

Terakhir ia pun berpesan, masyarakat tidak boleh terjebak dengan indikator-indikator teknis yang disampaikan berkenaan dengan resesi atau tidak resesi. “Kita harus lihat lebih terbuka ekonomi ini secara keseluruhan melihatnya. Tidak hanya melihat pada satu-satu indikator saja misalnya,” pungkas Hatta.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *