Mediaumat.id – Analis Senior Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengungkapkan, standar garis kemiskinan yang dipakai Badan Pusat Statistik (BPS) perlu direvisi.
“Banyak pihak yang mengkritisi, bahwa standar garis kemiskinan yang dipakai oleh BPS adalah standar yang perlu direvisi,” tuturnya dalam Kabar Petang: Data Kemiskinan BPS Abal-Abal? di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (1/8/2023).
Ishak menjelaskan, standar garis kemiskinan yang dipakai BPS merujuk pada Bank Dunia yaitu sekitar US$1,9 per hari atau Rp28.500 (US$1 = Rp15.000). Sementara referensi Bank Dunia adalah negara miskin di Afrika.
Menurutnya, jika standar kemiskinan yang dipakai merujuk pada masyarakat Eropa, rakyat miskin Indonesia bisa setengahnya. “Kalau kita bandingkan dengan masyarakat Eropa, mungkin hampir lebih dari separuhnya rakyat miskin,” ungkapnya.
Ishak mengungkapkan, Bank Dunia sendiri menilai garis kemiskinan Indonesia terlalu rendah. Seharusnya, standar yang dipakai Indonesia adalah US$3,2 atau Rp48 ribu per hari.
Ishak melanjutkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan jika standar garis kemiskinan dinaikkan, maka angka kemiskinannya mencapai 40% penduduk Indonesia.
Jadi, menurut Ishak, besar kecilnya angka kemiskinan tergantung referensi mana yang dipakai. “Tergantung referensi mana yang mau dipakai untuk mengukur garis kemiskinan,” tegasnya.
Konsep Kemiskinan
Ishak kembali menjelaskan, Indonesia menganut konsep kemiskinan yang dibuat oleh negara-negara maju. Konsep kemiskinan tersebut ada dua macam.
Pertama, garis kemiskinan absolut yaitu dengan batas minimum kebutuhan basic needs yang harus dipenuhi oleh suatu individu atau rumah tetangga. Kedua, ada garis kemiskinan relatif. Artinya tergantung kepada pendapatan masyarakat di suatu negara. “Jadi, kemiskinan itu akan berubah-ubah standarnya,” jelasnya.
Menurut Ishak, Indonesia mengadopsi sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan garis kemiskinan hanya tampak angka semata. Kalaupun ketahuan jumlah orang miskin, tetap tidak bisa diketahui siapa orangnya dan di mana tempat tinggalnya.
“Pemerintah tidak bisa memastikan secara akurat siapa sebenarnya orang miskin itu,” imbuh Ishak.
Hal ini terjadi, menurut Ishak, karena konsep yang dipakai Indonesia mengacu pada konsep kapitalisme yang memisahkan pengaturan urusan manusia dengan konsep akhirat, konsep ruhiah, serta konsep yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan pencipta yaitu Allah SWT.
Alhasil, angka kemiskinan semata-mata dilihat dari angka yang bisa naik dan turun. “Jadi, kemiskinan semata-mata dilihat bahwa bisa naik bisa turun. Pemerintah dikatakan berhasil ketika bisa menurunkan garis kemiskinan,” pungkasnya.[] Ikhty