FAKKTA: Semestinya Pemerintah Keluhkan Besarnya Bunga Utang

Mediaumat.id – Merespons keluhan pemerintah terkait besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM), Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan, semestinya pemerintah mengeluhkan seputar pembiayaan bunga utang negara, yang di tahun 2023 naik 9,3% menjadi Rp 441,4 triliun dari outlook tahun ini sebesar Rp 403,9 triliun.

“Semestinya pemerintah itu mengeluh kenapa pembayaran bunga utang paling tinggi,” ujar kepada Mediaumat.id, Sabtu (20/8/2022).

Hal itu ia ungkapkan, menanggapi pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang terkesan mengeluh terkait subsidi BBM mencakup pertalite, solar dan elpiji yang sangat besar mencapai lebih dari Rp502 triliun dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2022, Selasa (16/8/2022).

Ditambah dia bilang, dalam beberapa waktu belakangan ini, laju inflasi disertai dengan lompatan harga pangan dan elpiji membebani masyarakat yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19.

Hal ini terjadi karena kondisi global yang semakin tidak menentu. Seperti, konflik Rusia-Ukraina, perang dagang dan teknologi antara AS dan Cina, ketegangan baru di Selat Taiwan, serta disrupsi rantai pasok.

Namun terlepas itu, sambung Ishak sekali lagi, besarnya subsidi BBM yang mencapai Rp502 triliun tersebut, semestinya tidak perlu dikeluhkan.

Pasalnya, di sisi lain pemerintah juga untung besar karena mendapatkan penerimaan dari pajak migas dan PNBP migas yang naik akibat meningkatnya harga minyak mentah di pasar global.

Rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian crude price/ICP) selama Juni 2022 berdasarkan perhitungan Formula Harga Minyak Mentah Indonesia, naik sebesar USD8,01 per barel dari USD109,61 per barel pada bulan Mei 2022 menjadi USD117,62 per barel.

Penetapan harga ICP ini tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 75.K/MG.03/DJM/2022 tentang Harga Minyak Mentah Indonesia Bulan Juni 2022, tanggal 1 Juli 2022.

Di samping itu, terang Ishak, subsidi yang besar itu dikarenakan harga energi bersubsidi dikaitkan dengan harga internasional. Sehingga, ketika harganya naik maka nilainya otomatis naik. Padahal pula, apabila subsidi dihitung hanya dari komoditas yang diimpor maka angka yang muncul tidak sebesar itu.

Di sisi lain, pemerintah selalu mempersoalkan besaran subsidi, tetapi upaya untuk meningkatkan produksi dan pendapatan sektor migas dan minerba dalam negeri, tidak dilakukan secara serius.

Buktinya, ungkap Ishak, pengelolaan sektor strategis tersebut dikelola secara liberal dengan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta.

Tak Serius

“Pemerintah juga tidak serius di dalam mengembangkan sumber energi yang lebih murah yang melimpah di Indonesia seperti pemanfaatan gas pipa untuk rumah tangga sehingga dapat mengurangi impor elpiji,” lanjutnya.

Sehingga wajar, pemerintah berkewajiban memberikan subsidi atas barang-barang kebutuhan tersebut. Sebabnya, jika subsidi dilepas, beban ekonomi yang ditanggung masyarakat khususnya menengah ke bawah akan jauh lebih berat. Baik berupa kenaikan harga BBM itu sendiri, maupun non-BBM yang otomatis harganya juga mengalami kenaikan akibat inflasi.

“Hanya selisih satu triliun (rupiah) dengan belanja tertinggi yaitu belanja pegawai yang menyedot 20 persen seluruh total belanja pemerintah pusat,” jelasnya terkait perbandingan besaran bunga utang dengan pengeluaran rutin yang sifatnya permanen tersebut.

Adalah terlihat dalam Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2023 yang dirilis Kementerian Keuangan pada Selasa (16/8/2022).

Dalam RAPBN tersebut, perkiraan belanja pegawai pemerintah pusat tahun 2022 diperkirakan mencapai sekitar Rp416,61 triliun. Kemudian pada 2023 nilainya bertambah menjadi Rp442,57 triliun. Apalagi, belanja dimaksud menurut Ishak mengalir kepada para investor kaya, bukan kepada rakyat secara umum.

Kekacauan Berpikir

Ditambah terdapat kekacauan cara berpikir, pengelolaan anggaran negara dan sumber daya energi di negeri ini. “Ada kekacauan cara berfikir dan kekacauan dalam pengelolaan anggaran negara serta kekacauan di dalam pengelolaan sumber daya energi di Indonesia,” sebutnya.

Oleh karena itu, solusi untuk bisa keluar dari polemik seputar pengelolaan energi, sektor migas dan batu bara misalnya, adalah harus dilakukan secara islami berikut menyerahkan sepenuhnya kepada BUMN.

Begitu pula pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara. “APBN juga dikelola secara dengan Islam, sehingga penerimaan negara menjadi lebih besar dan pengeluaran menjadi lebih efektif dan produktif untuk kesejahteraan publik,” urainya.

“Lebih mendasar daripada itu, penerapan sistem Islam merupakan kewajiban pemerintah dan kaum Muslim di Indonesia,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: