Mediaumat.info – Rencana pembentukan family office oleh pemerintah berikut konsep di dalamnya yang membebaskan pajak bagi investor asing, dinilai mencerminkan kebijakan yang sangat problematik dan diskriminatif.
“Mencerminkan kebijakan yang sangat problematik dan diskriminatif,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Sabtu (18/1/2025).
Untuk itu, setidaknya ada lima poin kritikan mendasar berkenaan dengan wealth management consulting (WMC) atau family office yang secara lebih rinci merupakan perusahaan bertugas menangani manajemen investasi dan pengelolaan kekayaan keluarga super kaya yang memiliki aset sebesar USD50-100 juta atau sekitar Rp900 juta sampai Rp1 triliun.
Kritikan pertama, kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi sistemik yang mencerminkan kapitalisme ekonomi modern. “Pemerintah secara terang-terangan memberikan privilege kepada pemodal asing, sementara pelaku usaha domestik justru dibebani kewajiban pajak yang semakin berat,” kata Ishak memisalkan.
Sebutlah penaikan PPN barang mewah menjadi 12 persen yang makin mempertegas inkonsistensi dan ketidakadilan suatu kebijakan. “Ini bukan sekadar standar ganda, tapi pengkhianatan terhadap kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada rakyatnya tanpa diskriminasi,” paparnya.
Kedua, family office akan memperparah ketimpangan struktural, yang berangkat dari konsep trickle-down economics, atau ekonomi tetesan ke bawah.
Padahal teori ekonomi yang menguntungkan orang kaya dan perusahaan dimaksud, kata Ishak, sudah terbukti gagal di berbagai negara.
Artinya, banyak kajian yang menunjukkan bahwa konsep yang salah satunya mengurangi pajak penghasilan untuk orang kaya, tak berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.
Artinya pula, memberikan keistimewaan kepada orang-orang yang memiliki kekayaan bersih sangat tinggi (ultra-high net worth individuals) justru akan menciptakan konsentrasi kekayaan yang semakin ekstrem. Sementara mayoritas rakyat tetap terperangkap dalam kemiskinan sistemik.
Kritik ketiga, mekanisme family office sangat rentan terhadap praktik-praktik spekulatif dan manipulatif. “Para manajer investasi sophisticated (rumit) yang mengelola dana triliunan rupiah ini akan memanfaatkan setiap celah regulasi untuk memaksimalkan profit, termasuk melalui skema-skema yang berpotensi merugikan ekonomi nasional,” ulasnya.
Semisal, pengalaman Indonesia Investment Authority (INA), lembaga di bawah presiden yang bertugas mencari pendanaan dari luar negeri untuk pengembangan ekonomi di Indonesia, tetapi gagal menarik investasi signifikan.
Bahkan seharusnya, kata Ishak menimpali, kegagalan ini menjadi pembelajaran bahwa pendekatan semacam ini tidak efektif. “Pengalaman INA yang gagal menarik investasi signifikan seharusnya menjadi pembelajaran bahwa pendekatan semacam ini tidak efektif.
Keempat, mobilitas tinggi dari hot money, disebut demikian karena pergerakan cepat dan mudah berubah terkait masuk dan keluar aliran dana asing jangka pendek dari pasar keuangan suatu negara, yang dikelola family office bisa menciptakan risiko sistemik bagi stabilitas ekonomi nasional.
“Ketika terjadi gejolak, dana-dana ini akan dengan mudah hengkang, meninggalkan dampak destruktif pada nilai tukar rupiah dan keseimbangan neraca pembayaran,” jelasnya, yang berarti hal ini termasuk bagian dari bentuk ketergantungan ekonomi yang berbahaya.
Kelima, klaim bahwa family office akan mendorong investasi produktif sangat diragukan. “Tanpa adanya persyaratan ketat tentang alokasi investasi pada sektor riil dan strategis, dana-dana ini cenderung akan mengalir ke instrumen-instrumen spekulatif yang memberikan _quick returns_ namun minim dampak pada perekonomian rakyat,” tandasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan berencana bertemu Presiden Prabowo Subianto membahas kelanjutan WMC atau family office di Indonesia.
Luhut mengatakan, sebelumnya Prabowo telah menyetujui kelanjutan family office, sehingga bisa langsung dieksekusi. Di pertemuan berikutnya, Luhut akan mengusulkan agar family office bisa mulai berjalan di Februari tahun ini.
“Kita mau cepat. Kalau saya ketemu presiden, kalo saya boleh usul, bulan depan (Februari) boleh kita jadikan, kita sudah lama studi kok,” ujar Luhut usai acara Semangat Awal Tahun 2025 di Menara Global, Jakarta Selatan, Rabu (15/1/2025).
Solusi Fundamental
Karena itu, penting negeri ini menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif sebagai solusi fundamentalnya. Sebab, menurut Ishak, sistem ini memiliki beberapa keunggulan.
Pertama, menghapus total sistem bunga (riba) dan menggantinya dengan sistem kemitraan berbasis bagi hasil (mudharabah). “Ini akan mendorong investasi yang benar-benar produktif dan menguntungkan semua pihak,” jelasnya.
Kedua, sistem ekonomi Islam mengimplementasikan larangan penimbunan harta (hoarding) secara ketat. Maksudnya, kebijakan ini akan memastikan bahwa modal berputar di sektor riil, menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah bagi ekonomi.
Ketiga, sistem ekonomi Islam juga akan menerapkan sistem kontrak bisnis syariah seperti musyarakah, murabahah, dan ijarah yang menjamin keadilan bagi semua pihak, yang pula bakalan mencegah eksploitasi dan memastikan distribusi risiko yang adil.
Keempat, solusi ini memastikan pengembalian penguasaan aset-aset strategis seperti tambang, energi, dan sumber daya alam lainnya, ke tangan negara sebagai representasi kepemilikan umum (al-milkiyah al-ammah).
Berikutnya, hasil dari sektor-sektor ini wajib digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pembangunan infrastruktur dan layanan publik.
Kelima, mengembangkan sistem perpajakan yang sepenuhnya sesuai syariah Islam. “Pungutan pajak hanya diberlakukan dalam kondisi darurat ketika Baitul Mal tidak mampu membiayai kebutuhan primer negara,” terang Ishak, seputar dharibah tersebut.
Pun terkait pengenaan pajak, kata Ishak lebih lanjut, harus memenuhi persyaratan ketat sesuai syariat. Di antaranya, pajak hanya dikenakan saat kas negara benar-benar tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan mendesak seperti pembiayaan jihad dan pertahanan negara, gaji tentara dan aparat negara, santunan untuk fakir miskin, pembangunan infrastruktur vital yang menyangkut hajat hidup orang banyak, serta penanggulangan bencana dan keadaan darurat.
Syarat ketat berikutnya, pajak hanya dibebankan kepada kalangan lelaki Muslim kaya yang memiliki kelebihan harta setelah pemenuhan kebutuhan pokok, bukan kepada seluruh rakyat apalagi masyarakat miskin.
Tak hanya itu, besaran pajak juga harus ditentukan sesuai kebutuhan riil negara (bil ma’ruf) dan tidak boleh berlebihan. “Yang tak kalah penting, pungutan harus dihentikan segera setelah kebutuhan darurat tersebut terpenuhi,” imbuhnya.
Sekadar ditambahkan, kebijakan perpajakan tersebut sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan telah dipraktikkan pada masa Khulafaur Rasyidin ini, akan menciptakan sistem fiskal yang adil dan melindungi hak-hak rakyat.
Berbeda dengan sistem pajak konvensional yang memberatkan dan cenderung eksploitatif.
Namun yang terpenting, pungkasnya, kebijakan ini merupakan implementasi ketaatan kepada hukum-hukum Allah SWT dalam pengelolaan keuangan negara.[] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat