FAKKTA: RUU P2SK Tak Bisa Ciptakan Sistem Keuangan Tangguh

Mediaumat.id – Poin atau pokok-pokok hasil pembahasan yang diletakkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK), dinilai sangat jauh dari kata ideal dan tak bisa menciptakan sistem keuangan yang tangguh.

“Saya kira RUU P2SK masih sangat jauh dari ideal, sehingga tujuannya untuk menciptakan sistem keuangan yang tangguh dan berkeadilan akan mustahil untuk tercapai,” ujar Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Sabtu (10/12/2022).

Sebagaimana dikabarkan, Komisi XI DPR RI sepakat dan menyetujui RUU P2SK dan akan dibawa ke tingkat dua yakni rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU.

Kapitalisme

Lantas kendati secara pilar dari seluruh poin di dalam RUU P2SK itu bertujuan mempertegas komitmen pemerintah dan memperkuat kerja sama para pemangku kepentingan dalam mengembangkan keuangan berkelanjutan, namun Ishak menyinggung betapa kental aroma kapitalisme berikut sistem ekonominya di dalam RUU dimaksud.

“Dalam sistem kapitalisme, sistem perbankan yang berbasis ribawi sangat berisiko mengalami ketidakpercayaan ketika terjadi krisis khususnya yang bersifat eksternal, yang disebabkan oleh kerapuhan mata uang kertas yang menjadi objek spekulasi, tingginya peluang spekulasi pada sektor nonriil, seperti pada pasar modal dan pasar uang,” paparnya, tentang poin kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan.

Di sisi lain, praktik pinjaman daring yang pemerintah banggakan sebagai bagian dari kemajuan teknologi finansial (fintek) yakni penggabungan antara teknologi dan sistem keuangan, yang membuat akses jasa keuangan lebih inklusif, misalnya, kenyataannya malah menjerat ribuan orang ke dalam praktik rentenir yang dilegalkan.

Di samping itu, terkadang terjadi praktik bisnis yang tak etis, yakni memanipulasi laporan keuangan yang hingga saat ini tidak mampu dimitigasi oleh lembaga pengawas.

Sebutlah berbagai kasus penipuan pada lembaga asuransi seperti Asabri, Jiwasraya, Bumiputera, dan Wanaartha Life, yang telah merugikan nasabahnya hingga puluhan triliun rupiah.

“Contoh lainnya, sistem perbankan kapitalisme juga selalu menghadapi mismatch (ketidakcocokan) antara simpanan dana pihak ketiga yang cenderung bersifat jangka pendek atau dapat ditarik sewaktu-waktu, dengan penyaluran dana pihak ketiga tersebut pada pembiayaan dan investasi jangka panjang,” imbuhnya.

Maknanya, ketika muncul rumor ataupun krisis eksternal yang mengakibatkan turunnya ketidakpercayaan nasabah, maka bank akan kesulitan likuiditas (memenuhi kewajiban membayar utang) jangka pendek yang dimilikinya pada saat jatuh tempo.

Akhirnya, kata Ishak, lembaga keuangan pemerintah harus turun tangan memberikan bantuan keuangan ke perusahaan yang jika tidak dibantu akan mengalami kebangkrutan/kegagalan atau sering disebut dengan istilah bailout, yang tentu saja dengan mengambil uang dari pajak publik.

Begitu juga dengan sistem bunga. “UMKM bakal kesulitan mendapatkan permodalan karena bunga untuk mereka lebih tinggi dan prosesnya lebih rumit,” sambungnya.

Menurut Ishak, hal demikian kerap disebabkan perbankan lebih memprioritaskan usaha-usaha menengah ke atas yang lebih menguntungkan dan lebih aman. Atau bahkan mereka lebih memilih menyimpan dana mereka di surat berharga yang sifatnya nonriil, alias tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi barang dan jasa.

Oleh karena itu, sekali lagi Ishak menekankan, selama masalah fundamental sistem kapitalisme ini tidak diubah maka potensi krisis akan terus menghantui sistem keuangan nasional.

Karena itu pula, pungkas Ishak, amat penting bagi umat untuk kembali kepada sistem keuangan yang telah diatur oleh Islam. Seperti sistem keuangan dengan menggunakan emas dan perak, mengharamkan riba, penghapusan praktik-praktik transaksi bisnis yang juga diharamkan di antaranya asuransi, pasar saham, dan pasar komoditas berjangka.[] Zainul Krian

Share artikel ini: