Mediaumat.id – Peneliti dari Forum Kajian dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menilai meskipun Indonesia menempati urutan ke-14 dari 15 negara Asia yang disurvei Bloomberg terhadap potensi resesi bukan berarti Indonesia aman.
“Meskipun kecil bukan berarti Indonesia aman dari resesi atau krisis,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Selasa (19/7/2022).
Menurutnya, fundamental ekonomi Indonesia atau indikator-indikator makro yang kadang terlihat solid bisa berubah atau bermasalah. Misalnya tingkat kepercayaan investor terhadap investasi di pasar modal Indonesia, mungkin sekarang itu cukup solid tapi dalam waktu singkat bisa berubah sehingga mereka akan meninggalkan atau menjual aset-aset finansial yang mereka beli sebelumnya seperti saham, obligasi pemerintah kemudian menjual dan lari ke negara lain yang dianggap relatif aman seperti di Amerika Serikat.
Selain itu, perbankan juga berpotensi mendorong terjadinya krisis ketika terjadi tingkat kepercayaan masyarakat kepada bank menurun bahkan sampai panik, mereka akan berlomba-lomba untuk menarik tabungan dan deposito dari perbankan. Sehingga bank-bank bisa mengalami kesulitan mobilitas akhirnya membutuhkan bailout dari pemerintah.
Atau misalnya, lanjut Ishak, krisis nilai tukar anjlok. Misalnya dari Rp15.000 menjadi Rp20.000 akibat pelarian modal.
“Ketidakpercayaan terhadap ekonomi domestik seperti terjadi tahun 1997-1998 itu juga bisa terjadi dalam waktu singkat,” ungkapnya.
Menurutnya dalam teori ekonomi sangat sulit memproyeksikan kapan terjadinya krisis. Namun, Ia mengungkap bahwa faktor yang kerap kali menyebabkan resesi itu karena fundamental ekonomi sangat rapuh. Seperti sistem keuangan berbasis riba, mata uangnya menggunakan mata uang kertas yang tidak dijamin oleh emas dan perak.
Karena itu, solusinya adalah harus meninggalkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam. Perekonomian akan diatur berdasarkan hukum Islam, riba diharamkan dan mata uang akan berbasis dinar dan dirham.
“Memang kapitalisme ini sarat dengan krisis,” pungkasnya.[] Ade Sunandar