FAKKTA: Penerapan KRIS Berpotensi Naikkan Iuran BPJS

Mediaumat.info – Rencana pemerintah untuk menerapkan kelas rawat inap standar (KRIS) setelah dihapusnya kelas 1, 2 dan 3 dalam layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, Perubahan Ketiga atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, dinilai berpotensi mendorong kenaikan iuran BPJS yang selama ini dibayarkan oleh rakyat Indonesia.

“Tidak menutup kemungkinan bahwa perubahan strategi tersebut akan meningkatkan biaya pelayanan, sehingga pemerintah mungkin akan kembali menaikkan iuran yang dibebankan kepada rakyat,” ujar Direktur Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Selasa (21/5/2024).

Ishak membeberkan, saat ini, biaya yang dibayarkan rakyat untuk iuran BPJS per bulan bersifat tetap, baik peserta sakit maupun tidak. Untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri, iuran kelas I adalah Rp150 ribu, kelas II Rp100 ribu, dan kelas III Rp42 ribu per orang per bulan. Peserta kelas III mendapatkan subsidi sebesar Rp7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga mereka hanya membayar Rp35 ribu. Sementara itu, iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBI Jaminan Kesehatan adalah Rp42 ribu per orang per bulan, yang dibayarkan oleh pemerintah.

Ishak melihat, bahwa layanan kesehatan yang mengadopsi model sistem asuransi kesehatan kolektif ini merupakan cara negara untuk mengurangi tanggung jawabnya dalam menyediakan layanan kesehatan kepada rakyat. Sehingga kewajiban negara tersebut akhirnya ditanggung oleh rakyat dengan membayar premi, baik mereka sakit maupun tidak karena untuk menutupi biaya kesehatan rakyat lain yang sakit. Sementara itu, peran negara menjadi semakin minimal yakni terbatas pada rakyat yang dianggap miskin saja. Celakanya, dengan sistem asuransi tersebut, penyediaan fasilitas kesehatan, obat-obatan, dan alat kesehatan diserahkan kepada mekanisme pasar, sehingga menjadi ladang bisnis bagi para investor.

Menurut Ishak, kebijakan sistem asuransi kesehatan kolektif tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Dalilnya adalah perintah untuk berobat sebagai kemaslahatan untuk memperoleh manfaat dan menolak bahaya. Alhasil kebijakan tersebut semakin melanggengkan kezaliman penguasa dalam penyediaan layanan kesehatan yang semestinya gratis kepada rakyatnya.

Ia mengatakan, klinik dan rumah sakit merupakan fasilitas umum yang dibutuhkan publik. Karena itu, wajib disediakan oleh negara. Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW: “Imam (khalifah) merupakan pelayan dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Selain itu, terdapat beberapa riwayat bahwa Nabi SAW juga telah menyediakan dokter kepada sahabat yang sakit, sebagaimana halnya yang dilakukan Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah.

Oleh karena itu, Ishak menegaskan, negara wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan secara gratis dengan pembiayaan dari Baitul Mal. Meskipun demikian, seorang dokter tidak dilarang mengambil upah dari pelayanan kesehatan yang ia berikan karena hal itu merupakan bagian dari manfaat yang dapat diperoleh upah darinya.

“Adapun solusi untuk menghapus kezaliman tersebut adalah mengembalikan pengelolaan kesehatan secara gratis seperti yang diajarkan oleh Islam yang disertai dengan penerapan Islam secara lengkap, sehingga persoalan pendanaan juga dapat diatasi dengan cara yang benar,” pungkasnya. [] Agung Sumartono

Share artikel ini: