FAKKTA: Penaikan Iuran BPJS Terus Terjadi Sebab Tak Diatur dengan Islam

Mediaumat.info – Penaikan iuran BPJS Kesehatan yang rencananya akan dilakukan pada pertengahan tahun 2025, dinilai sebagai masalah yang akan terus muncul karena sektor kesehatan masyarakat tak diatur dengan Islam.

“Masalah BPJS muncul karena pengaturan urusan kesehatan, seperti halnya urusan publik yang lain, tidak diselesaikan sesuai dengan aturan Islam,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada media-umat.info, Ahad (17/11/2024).

Padahal sumber-sumber pembiayaan untuk sektor kebutuhan pokok masyarakat di antaranya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan maupun keamanan, sangatlah melimpah di negeri ini.

Namun, dikarenakan tak diatur dengan Islam, sumber-sumber penerimaan dari sektor pertambangan, misalnya, yang semuanya di dalam Islam merupakan milik publik, justru diserahkan kepada swasta. Belum lagi hasil hutan maupun laut.

Akibatnya, negara harus berutang untuk sekadar menutupi pembiayaan anggaran kesehatan masyarakat.

Diberitakan sebelumnya, alasan dari penaikan iuran BPJS disampaikan Dirut BPJS Ali Ghufron Mukti usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Pengawas dan Direktur Utama BPJS Kesehatan dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/11/2024).

Dikatakan, penaikan dimaksud untuk mencegah potensi defisit akibat meningkatnya biaya klaim fasilitas kesehatan yang lebih besar dibandingkan akumulasi iuran dan bantuan pemerintah melalui skema penerima bantuan iuran (PBI).

Meski demikian, kata Ishak lebih lanjut, kebijakan ini dinilai akan membawa sejumlah implikasi ekonomi dan sosial. Artinya, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah yang tak termasuk PBI, penaikan iuran akan menjadi beban tambahan, terutama di saat kondisi ekonomi yang sedang lesu.

Sebutlah penaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen dan dimulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini bakal berpotensi pula meningkatkan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK). Seiring dengan itu, daya beli masyarakat pun akan tergerus.

Memberatkan

Di sisi lain, denda bagi peserta yang tidak aktif juga akan semakin memberatkan. “Hal ini menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi peserta yang jarang atau bahkan tidak menggunakan fasilitas kesehatan BPJS,” jelasnya.

Lantas masalah lain yang juga perlu diperhatikan adalah praktik overclaim yaitu pernyataan atau klaim berlebihan, dibuat-buat, atau tidak sesuai dengan fakta oleh sejumlah fasilitas kesehatan yang menyebabkan tagihan menjadi tidak wajar.

Overclaim ini berkontribusi pada meningkatnya biaya yang harus dibayar oleh BPJS, sehingga membebani sistem secara keseluruhan,” jelas Ishak.

Karena itu, untuk mengatasi lonjakan klaim, pemerintah seharusnya fokus pada kebijakan preventif melalui peningkatan edukasi kesehatan masyarakat, terutama melalui puskesmas. “Dengan alokasi anggaran yang relatif kecil untuk pencegahan, potensi pengurangan biaya kesehatan jangka panjang menjadi terhambat,” tukasnya.

Pun ketika melihat jumlah klaim BPJS sebesar Rp158 triliun pada tahun 2023, kata Ishak lebih lanjut, pemerintah sebenarnya hanya perlu menambah sekitar Rp96 triliun untuk menanggung seluruh biaya kesehatan rakyat.

Dan jumlah itu sebenarnya kecil jika negeri ini benar-benar menggunakan sistem Islam dalam aspek perekonomian. Bahkan lebih kecil dari kewajiban pembayaran bunga utang per tahunnya.

“Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan anggaran lain, seperti pembayaran bunga utang yang mencapai lebih dari 500 triliun (rupiah) per tahun,” tandasnya.

Karena itu pula, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, ia pun kembali menawarkan konsep Islam yang menempatkan jaminan kesehatan masyarakat di pundak negara.

“Negara wajib menyediakan fasilitas kesehatan secara gratis kepada rakyat, tanpa membebankan biaya tambahan,” pungkasnya, tentang jaminan kesehatan masyarakat dari sudut pandang Islam.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

 

Share artikel ini: