FAKKTA: Mestinya Tidak Terjadi Kelangkaan Minyak Goreng

Mediaumat.id – Ekonom dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Hatta, S.E., M.Si. mengatakan, secara suplai CPO (crude palm oil) semestinya tidak terjadi kelangkaan minyak goreng di masyarakat.

“Mestinya tidak ada, tidak terjadi kelangkaan, mestinya,” sebutnya dalam Diskusi Literasi #46: Balada Minyak Goreng di Negeri Sawit, Selasa (22/2/2022) di kanal YouTube Flip Channel.

Malah ia menyebut, produksi dalam negeri masih surplus, bahkan sejak tahun 2005-an menjadi produsen terbesar CPO di dunia dengan mengalahkan Malaysia.

“Kita konsumsinya berapa? Konsumsinya 15,8 juta ton, ekspor 29,6 juta ton, terus kemudian produksinya ini 45,8, surplus 290.000 ton,” ungkapnya.

Artinya, tidak ada kekurangan antara supply dan demand. “Kalau suplainya lebih besar daripada demand, mestinya harga (pun) tidak mahal,” tandasnya.

Lantas Hatta menjelaskan, meski pemerintah sejak awal Februari menetapkan harga eceran tertinggi Rp14.000 untuk kemasan premium, Rp13.500 kemasan sederhana dan Rp11.500 untuk curah, harga minyak goreng per tanggal 18 Februari 2022, rata-rata di atas Rp15.000.

“Nyatanya minyak goreng kita ini di harga Rp15.000 ke atas, mayoritas,” ucapnya.

Bahkan di luar Jawa, Gorontalo sudah menyentuh harga Rp25.000 per 2 liter. “Sumatera Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat di atas di atas Rp20.000 sampai sekarang,” bebernya.

Padahal kementerian perdagangan sudah menetapkan harga CPO di kisaran Rp9.300 per kilogram dan harga eceran tertinggi untuk minyak goreng Rp14.000 per liter.

“Meskipun demikian tetap saja di beberapa daerah langka dan harganya tetap mahal. Dan ini fakta,” ucapnya lagi.

Pasar Komoditas Berjangka

Fenomena kenaikan harga minyak goreng hingga dibuat skema subsidi oleh pemerintah, dinilainya karena mekanisme harga CPO ditransaksikan melalui pasar komoditas berjangka.

“Harga CPO kita ini ditransaksikan melalui pasar komoditas berjangka, future market,” ujarnya dengan menyampaikan hal itu bisa dilihat dari harga CPO, minyak nabati yang dihasilkan dari tanaman buah kelapa sawit tiap 5 menit sekali berfluktuasi.

“Kita lihat di 15 Februari (2022), di jam 7.55 terus itu harganya adalah 5.772 ringgit Malaysia per ton. Sekarang kita lihat lima menit berikutnya, jam 8.00, di tanggal yang sama itu harganya berubah menjadi 5762, turun,” ucapnya menyampaikan grafik pergerakan harga CPO yang ia tampilkan.

“Lima menit berikutnya lagi mengalami kenaikan 5.767 ringgit Malaysia, naik 0,09%. Ini per lima menit pergerakannya, lima menit berikutnya lagi turun,” tambahnya.

Sehingga, dilihat dari pergerakan cepat fluktuasi harga CPO tersebut, kata Hatta, merupakan ciri khas dari transaksi komoditas berjangka.

“Orang yang membeli atau bertransaksi di pasar komoditas berjangka itu, mereka tidak harus ingin betul-betul memiliki, membeli minyak goreng tadi,” urainya.

Dengan kata lain, mereka hanya sebatas ingin mencari keuntungan dari selisih harga jual dan harga beli. “Harga belinya tadi misalnya 5.500. Lima menit berikutnya dijual 5.700, sudah untung 200,” kata Hatta.

Spekulatif

Perlu diketahui, lanjutnya, transaksi seperti itu sangat mirip atau justru sama dengan transaksi di pasar modal yang bersifat spekulatif. “Transaksi saham di pasar modal atau stock exchange itu 99%, kalau kita tidak mau dikatakan 100%. 99% transaksi sahamnya adalah spekulatif,” tegasnya.

Bahkan hal itu bisa dilihat pada fluktuasi saham Bank BRI Syariah yang dalam sehari saja, apabila dirata-rata bisa sampai 15.000 kali. “Itu transaksi permen kacang atau transaksi perusahaan?” selorohnya.

Dari situ, masyarakat bisa mengetahui penyebab harga CPO yang sedang mengalami kenaikan.

Lebih lanjut, persoalan kelangkaan minyak goreng di pasar-pasar, lebih kepada peran pemerintah yang ia anggap tidak punya cukup kekuatan mengendalikan di pasar komoditas.

Namun demikian, pemerintah tetap memiliki kekuatan relatif yang lebih besar untuk bisa mengendalikan harga dengan mendominasi tempat pengolahan.

“Pemerintah punya kekuatan relatif lebih besar untuk bisa mengendalikan harga itu adalah pada dominasi perusahaan swasta,” terangnya.

Mulai dari kepemilikan pabrik-pabrik yang bisa mengolah tandan buah segar (TDS) sawit menjadi CPO, hingga dalam bentuk minyak goreng yang siap didistribusikan serta digunakan masyarakat.

“CPO, terus kemudian mengolah lagi minyak goreng itu juga harus ada peran pemerintah di sana,” ucapnya.

Dengan begitu, diharapkan pihak swasta tidak bisa lagi dengan mudah mengendalikan atau merekayasa harga. Sebab, kata Hatta, bisa saja mereka merekayasa harga dengan cara menahan atau menimbunnya. “Barang ditimbun sengaja. Nanti kalau sudah langka baru dijual, dilempar ke pasar,” tandasnya.

Haram

Bicara tentang minyak goreng, menurutnya, selain sangat mendalam hingga terdapat unsur spekulatif di dalam sistem ekonomi saat ini yang memang tidak boleh dilarang oleh pemerintah sekalipun, ternyata tidak demikian dari sudut pandang Islam.

Di dalam ekonomi Islam, Hatta menegaskan, seluruh transaksi spekulatif di dalam sistem keuangan atau moneter yang diterapkan sekarang, haram hukumnya.

“Orang-orang yang bertransaksi di sana mencari selisih harga beli dan harga jual di pasar bursa komoditas, tidak boleh. Karena itu adalah spekulatif, tidak boleh,” tegasnya.

Terlebih, berkaitan dengan kepemilikan harta kekayaan dalam konteks yang ia bahas juga termasuk lahan sawit, yang justru menurut data BPS, seluas 8,8 juta hektare merupakan perkebunan besar yang dimiliki perusahaan-perusahaan.

“Tidak hanya mempertimbangkan untung dan rugi, profit or loss, untung rugi, tidak itu. Tetapi halal haram juga,” tukasnya.

Dengan demikian, seorang pengusaha semestinya mengikatkan bisnisnya dengan akidah dan keimanan. “Dari situ nanti insyaAllah pemerintah tidak akan kerepotan untuk mengatur masalah minyak goreng,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: