FAKKTA: Kenaikan Tarif Listrik akan Memukul Daya Beli Masyarakat

Mediaumat.id – Rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif listrik dan cukai rokok pada awal 2022 dinilai Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak akan memukul daya beli masyarakat menengah ke bawah.

“Rencana kenaikan berbagai harga yang ditentukan pemerintah atau yang dikenal dengan istilah administered price, seperti cukai rokok, listrik, dan penghapusan premium yang memaksa konsumen menggunakan bahan bakar yang lebih mahal, akan sangat memukul daya beli masyarakat, khususnya masyarakat menengah bawah,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Ahad (26/12/2021).

“Pasalnya, sebelum pandemi saja beban hidup mereka sudah cukup berat, apalagi ditambah pandemi yang dampaknya masih terasa hingga saat ini,” sambungnya.

Menurut Ishak, kenaikan tersebut sebenarnya bisa dicegah jika pengelolaan negara termasuk anggaran negara, berjalan dengan baik. PLN misalnya saat ini menanggung utang yang tinggi akibat harus membeli listrik dari produsen swasta, padahal permintaan listrik rendah pada masa pandemi, sehingga listrik yang dibeli PLN lebih besar dari penjualan atau over supply, belum lagi swasta pasti mengambil margin dari setiap penjualan tersebut.

Di sisi lain, kata Ishak, PLN harus membeli bahan bakar terutama batu bara dan gas dari swasta dengan harga pasar meskipun energi tersebut diproduksi di dalam negeri. Belum lagi, karena keterbatasan modal, PLN harus mencari pinjaman ke bank dan surat utang sehingga mengeluarkan biaya bunga sebesar Rp 12 triliun per tahun untuk membayar utangnya yang mencapai Rp 644 triliun.

“Jadi sangat tidak adil jika masalah-masalah itu dibebankan kepada konsumen,” ucapnya.

Ishak memandang, semua itu terjadi lantaran pengelolaan energi di negara ini menganut sistem kapitalisme, energi dipandang komoditas ekonomi yang harganya diserahkan kepada mekanisme pasar dan pengelolanya diberikan kepada swasta atau pemerintah yang berlaku seperti swasta.

Kondisi itu menurutnya tentu bertentangan dengan Islam, sebab energi seperti batu bara dan listrik merupakan barang milik umum yang harus dikelola oleh negara, bukan oleh swasta. Apalagi pembiayaan melalui utang ribawi juga haram.

“Alhasil dengan menerapkan Islam Indonesia tidak akan mengalami harga energi yang mahal, seperti listrik dan BBM saat ini,” sebut Ishak.

Minyak Goreng juga Naik

Berkaitan dengan minyak goreng, Sebut Ishak merupakan keseimbangan baru lantaran demand mulai meningkat setelah permintaan tertahan akibat pandemi melonjak di negara-negara konsumen, sementara supply relatif stagnan sehingga harga terdorong ke atas. Sehingga dalam beberapa bulan ke depan supply akan kembali naik, dan demand akan kembali normal.

Di sisi lain, kata Ishak, pemerintah tidak memiliki stok cadangan minyak goreng yang memadai untuk melakukan intervensi pasar di saat harganya naik, sebab Bulog yang semestinya mengambil peran itu tidak mendapatkan cukup anggaran. Sehingga di banyak tempat cadangan minyak goreng Bulog sudah habis. Padahal, Indonesia merupakan produsen utama CPO yang menjadi bahan baku minyak goreng.

“Jadi lagi-lagi kurangnya perhatian pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan, dengan dukungan kepada Bulog yang rendah agar harga sepenuhnya ditentukan mekanisme pasar, membuat rakyat banyak yang menjadi korban,” pungkas Ishak.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: