FAKKTA: Kebijakan Hilirisasi Ibarat Pindahkan Pabrik-Pabrik Cina ke Indonesia
Mediaumat.id – Menanggapi dampak hilirisasi yakni ekspor Indonesia ke Cina meningkat pada Agustus 2023 yang didominasi besi dan baja, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyatakan kebijakan hilirisasi ibaratkan memindahkan pabrik-pabrik Cina ke Indonesia.
“Hilirisasi diibaratkan seperti memindahkan pabrik-pabrik dari Cina ke Indonesia,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (19/9/2023).
Yang bahan baku berasal dari Indonesia, tetapi, lanjut Ishak, hasil produksi berupa barang modal seperti besi dan baja sebagian besar diekspor ke Cina untuk diolah lebih lanjut. Sementara itu, industri turunan smelter di Indonesia tidak berkembang dengan baik.
Menurut Ishak, hilirisasi sektor pertambangan dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas tambang tersebut, yang bertujuan agar manfaatnya lebih merata bagi masyarakat dan negara. Selain itu peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dan diharapkan juga bahwa dampak positifnya akan menggerakkan sektor ekonomi, yang pada gilirannya akan meningkatkan produksi barang dan jasa. Kemudian pendapatan negara diharapkan meningkat, sehingga anggaran untuk peningkatan kesejahteraan rakyat juga dapat ditingkatkan.
Namun pada kenyataannya, Ishak melihat pelaksanaannya tidak selalu sebaik seperti yang diharapkan dalam teori. Banyak tenaga kerja di perusahaan-perusahaan smelter justru berasal dari Cina, sementara tenaga kerja lokal sering kali mendapatkan upah yang lebih rendah. Hilirisasi juga seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar wilayah pertambangan. Selain itu, penerimaan negara tidak sebanding dengan dampak yang diharapkan, karena perusahaan smelter mendapatkan insentif besar dari pemerintah. Seperti tax holiday (cuti pajak) hingga 20 tahun, sehingga penerimaan negara menjadi terbatas.
Ishak menilai, dari perspektif ekonomi politik Islam, kebijakan hilirisasi ini jelas keliru, karena tidak memanfaatkan sumber daya alam secara optimal untuk memperkuat industri dalam negeri, melainkan justru memperkuat negara non-Muslim.
Selain itu, dampak negatif dari kebijakan ini, seperti kerusakan lingkungan, telah menimbulkan mudharat bagi masyarakat di sekitar wilayah tambang. “Dan tindakan yang menyebabkan kemudharatan haram,” pungkasnya.[] Agung Sumartono