Fahmi Amhar: Riset, Tak Cukup Teriak Saya Pancasila

Mediaumat.id – Pakar Riset Sistem Informasi Spasial Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar berkomentar terkait upaya mengorelasikan riset dengan Pancasila. “Riset yang pancasilais itu tidak saja cukup dengan teriakan, saya Indonesia, saya Pancasila,” ujarnya dalam FGD #23: Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa – BRIN dan Masa Depan Riset di Indonesia di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Sabtu (23/10/2021).

Ia menyebut demikian, karena memang saat ini Badan Riset Dan Inovasi Nasional (BRIN) diarahkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Namun, lanjut Fahmi, bukan berarti karena itu lantas BRIN ke depannya akan berjalan tidak normal. “Mungkin agak bias (saja) penilaian itu karena figur kepala BPIP-nya,” tandasnya.

Menurut Fahmi, jika memang dikaitkan dengan BPIP, justru suatu riset harus dimulai dari satu set indikator yang mencerminkan atau mampu meningkatkan ketakwaan, perikemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial.

Suatu riset akademis memang menarik untuk sebuah ‘badan’. Karena itu, tegasnya kembali, Pancasila bukan di risetnya. “Kalau nuklir, di mana saja sama. Mau Islam, mau Pancasila, mau komunis, mau kapitalis, yang namanya teknologi nuklir ya di mana-mana seperti itu,” jelasnya.

Sebelum menjawab apa saja yang menjadi indikator ketakwaan dari hasil-hasil teknologi, Fahmi menyampaikan sebuah teori, bahwa perilaku keberagaman atau perilaku bertakwa itu ada yang bisa diukur, ada yang tidak.

Maka kalau di dalam hati, yang ia sebut dengan akidah atau iman, termasuk indikator tidak bisa diukur. Sedangkan perilaku, ibadah, munculnya tempat ibadah, kehalalan, tergolong indikator ketakwaan yang bisa diukur.

“Nah itu bisa enggak dikorelasikan dengan IPM, indeks pembangunan manusia atau produk domestik bruto. Jangan sampai ketakwaan yang dimaksud tadi, ternyata enggak berkorelasi,” tuturnya.

Untuk indikator yang mencerminkan perikemanusiaan, korelasinya ia kaitkan dengan filantropi. Kemudian terkait persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial, nantinya ia harapkan bisa diukur dengan indeks kehijauan, emisi CO2, tata ruang/wilayah dan sebagainya.

Tiga Ideologi

Sebelum mengaitkan riset di Indonesia dengan Islam, Fahmi lebih dulu menjelaskan tentang ideologi di dunia yang faktanya ada tiga. Yakni Islam, kapitalisme dan sosialisme yang menurutnya, dari ketiganya terkadang beririsan.

“Zaman orde Lama, di tengah-tengah itu Pancasila di antara tiga ideologi ini. Maka dibawa ke Islam bisa, dibawa ke kapitalis bisa, dibawa ke sosialis bisa sebenarnya. Saya bilang sosialis ya bukan komunis,” bebernya.

Kemudian di masa orde Baru, bandonya berubah dengan demokrasi karya dan ekonomi kekeluargaan. “Maksudnya, keluarga Suharto dan kroninya. Itu demokrasi karya itu demokrasinya Golkar,” jelasnya.

Tetapi di masa reformasi, justru karyanya berubah menjadi liberal. Dan lebih dari itu, sambung Fahmi, ekonominya pun semakin liberal. “(Padahal) ini semua masih Pancasila loh, dari zaman orde Lama, orde Baru, orde Reformasi semua masih Pancasila,” herannya.

Sehingga, mau di bawa lari ke Islam pun sebenarnya semua masih Pancasila. Hanya, di dalam Pancasila setiap silanya bisa dicakup satu ayat Al-Qur’an, atau minimal lima ayat yang mencakup Pancasila. “Tetapi kalau Al-Qur’an itu kan ada 6000 ayat lebih,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: