Mediaumat.news – Pernyataan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman yang berdalih, kerumunan saat pembagian bungkusan di Cirebon, Jawa barat pada Selasa (31/8) dikarenakan karisma seorang presiden yang menarik masyarakat untuk berkumpul, bukan karena ada niat dari Presiden Jokowi untuk melanggar protokol kesehatan, Aktivis Gerakan Islam dan Praktisi Hukum Ahmad Khozinudin tanggapi begini.
“Kalau kita bicara karisma, karisma Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS) lebih besar daripada karisma Jokowi. Juga tidak tepat, bahkan keliru besar, Saudara Fadjroel Rachman selaku jubir presiden menyatakan bahwa tidak ada niat Presiden Jokowi untuk melanggar protokol kesehatan atau untuk menimbulkan kerumunan,” ujarnya dalam Live Streaming: Antara Niat Jokowi vs HRS, Jumat (3/9/2021) di kanal YouTube Ahmad Khozinudin.
Menurutnya, kerumunan warga di sana juga dikarenakan terdapatnya hadiah. “Kalau Jokowi tidak melempar-lempar hadiah, enggak akan berkumpul orang itu, enggak peduli Jokowi itu siapa. Karena ada hadiah, orang datang,” tambahnya.
BACA JUGA: Jokowi Kembali Lempar Bingkisan ke Warga, Mirip Perilaku Penjajah
Kalaupun karena dia seorang presiden, semestinya harus menginsyafi bahwa tindakan, perilaku, atau apa pun itu akan mengundang perhatian publik. “Coba nanti kalau dia sudah bukan presiden, siapa yang mau mengerumuni Saudara Joko Widodo,” timpalnya.
Teori Dolus
Terkait dalih tidak ada niat melanggar protokol kesehatan pada kasus kerumunan tersebut, Ahmad menjelaskan, terdapat tiga teori dolus (sengaja niat) dan mens rea (niat perbuatan jahat dari seorang pelaku kejahatan) yang terkonfirmasi di dalam hukum.
Pertama, sadar sebagai maksud/tujuan. Ia memisalkan, ketika orang mengambil pisau dan menikam ke arah leher lawan, itu sudah pasti ada niat/maksud ingin membunuh. “Beda kalau tikamannya diarahkan ke tangan, itu hanya tujuannya untuk sengaja mencederai saja,” terangnya.
Kedua, teori sadar sebagai sebuah kepastian. Misal, niatnya hanya ingin membunuh A dengan racun. Tetapi dia tahu bahwa yang berkumpul itu ada A, B, C dan D. Kemudian dikirim makanan beracun yang niatnya ditujukan kepada A. Sehingga, kemungkinan keracunan yang dialami A, pasti juga dialami oleh B, C atau D.
Ketiga, sadar dengan kemungkinan. Sadar kemungkinan yang Ahmad maksud bukan dari niatnya, tetapi kemungkinan itu akan menimbulkan kematian juga. Misal, niat menembak tupai, ternyata mengenai orang yang lagi menyadap di atas pohon enau. “Ini juga salah, ini punya niat. Niat yang disebut dengan sadar kemungkinan. Semestinya dia menyadari ada kemungkinan orang yang tertembak,” tandasnya.
Kalaupun tidak berniat menimbulkan kerumunan, sambung Ahmad, presiden memiliki sadar kepastian bahwa orang pasti akan berkerumun. Sehingga, membandingkan dengan kasus Petamburan sebagaimana dulu HRS diproses hukum, seharusnya Presiden Joko Widodo pun demikian.
Bahkan jika berani, aparat penegak hukum bisa menerapkan pasal 160 KUHP yang ancaman pidananya lebih dari 5 tahun, dan karenanya aparat bisa menetapkan keputusan penahanan. Sebab, presiden telah melakukan semacam penghasutan dengan terus melakukan pelanggaran kerumunan.
Namun, Ahmad yakin aparat tidak akan berani. Sebab, penegakan hukum saat ini menurutnya menjadi suka-suka versi penguasa yang bisa menciptakan hukum sesuai kehendaknya. “Saya tegaskan sekali lagi, hari ini faktanya hukum sudah suka-suka penguasa,” bebernya.
Tak Ada Muruah
Di sisi lain, Ahmad juga mempersoalkan perlakuan Presiden Jokowi kepada warganya saat membagi-bagikan bungkusan dengan cara melempar, hingga ada yang nekat terjun ke saluran air kotor demi mendapatkan bungkusan kaus hitam tersebut. “Seperti tidak ada muruah aja. Kita ini manusia. Memangnya ayam yang hanya disebari jagung dan langsung berkerumun nutul-nutul jagung. Kita ini manusia, orang punya martabat,” sesalnya.
Lebih ngeri dari itu, secara moral etik, lanjut Ahmad, seorang presiden sebagai kepala negara yang semestinya melayani, memuliakan serta menjaga, juga telah dengan sengaja menjatuhkan wibawa rakyatnya.
Maka itu, ia menuturkan, kalau ingin memberikan hadiah, tetapi tidak memungkinkan turun dari kendaraan, bisa melalui stafnya. Tetapi itu menurutnya tidak tepat juga. “Presiden itu punya kebijakan. Bukan kerjaan presiden bagi-bagi sembako. (Tetapi) bikin kebijakan,” jelasnya.
Semisal, menginstruksikan lewat anggaran resmi negara melalui RT/RW untuk mendistribusikan langsung. “Pertama pasti mencegah tidak akan berkerumun, kedua pasti tepat sasaran karena RT/RW itu paling tahu mana warganya paling membutuhkan dan yang ketiga tidak perlu ada kritikan dari masyarakat,” pungkasnya.[] Zainul Krian