Esensi Ramadhan Syahr al-Qur’an: Membumikan Al-Qur’an dalam Kehidupan
Ramadhan al-Mubarak, bulan yang dirindukan namun seringkali diabaikan. Dirindukan kehadirannya, namun diabaikan bagaimana sikap seharusnya menghidupkan Ramadhan. Ramadhan al-Mubarak dikenal dengan berbagai keistimewaan, sejalan dengan keragaman julukannya, ia yang dikenal sebagai syahr al-Qur’an, syahr al-jihad, al-syahr al-mubarak, syahr al-shiyam dan beragam julukan yang menggambarkan keutamaannya, sebagaimana ungkapan arab
كثرة الأسماء تدل على شأن المسمى
Banyaknya nama menunjukkan kedudukan dari objek yang dinamai.
Menariknya, bulan Ramadhan tak hanya dikenal sebagai syahr al-shiyam (bulan ditegakkannya kefardhuan shaum ramadhan), tapi juga syahr al-Qur’an, yang ditegaskan para ulama sebagai bulan diturunkannya al-Qur’an, berdasarkan dalil QS. Al-Qadr [94]: 1 dan QS. Al-Baqarah [2]: 185, firman-Nya:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami menurunkan ia (al-Qur’an) pada malam al-Qadr.” (QS. Al-Qadr [94]: 1)
Dalam ayat yang agung ini, Allah Ta’ala menginformasikan turunnya al-Qur’an pada malam Lailatul Qadr, yakni suatu malam istimewa yang hanya datang pada bulan Ramadhan, turun secara langsung keseluruhannya dari al-lauh al-mahfuzh ke langit dunia, ditandai ungkapan kata kerja anzala (turun jumlat[an] wahidat[an]).
Diawali penegasan huruf inna, yang faidahnya diperkenalkan dalam ilmu balaghah (al-ma’ani), untuk menegaskan kebenaran informasi dalam ayat, sekaligus menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atasnya. Luar biasanya, Allah Ta’ala pun menggunakan diksi “hu” yang merupakan kata ganti ketiga (dhamir), yang mengandung faidah ta’zhim wa takrim (pengagungan dan pemuliaan) atas kedudukan al-Qur’an al-‘Azhim. Diperjelas firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” __ (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Syaikhuna Atha’ bin Khalil Abu al-Rasytah di dalam Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr menjelaskan: “Hudâ li an-nâs” bermakna: menunjuki mereka pada kebenaran dan jalan yang lurus. “Wa bayyinâti min al-hudâ” bermakna: sebagai bukti-bukti yang qath’i dan mukjizat bahwa al-Quran merupakan petunjuk yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Adapun “wa al-furqân” bermakna: yang membedakan antara kebenaran dan kebatilan, antara yang baik dan yang buruk dan antara amal-amal salih dan amal amal buruk.
Dua ayat agung di atas, menunjukkan secara jelas kedudukan Ramadhan sebagai syahr al-Qur’an, dimana esensinya tak boleh dimaknai sempit sebagai ritual taubat tahunan, yang cukup dibaca namun ajarannya diabaikan dalam kehidupan. Mengingat Allah Ta’ala menurunkan al-Qur’an, sekaligus memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan ajarannya dalam kehidupan:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. Al-Nahl [16]: 89)
Relevan dengan petuah agung baginda Rasulullah Saw:
«يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ»
‟Wahai umat manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan bagi kalian apa-apa yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi)
Hadits ini diungkapkan dalam bentuk syarat (al-jumlah al-syarthiyyah), ditandai kata in syarthiyyah dan fa sebagai jawabannya (jawâb al-syarth) dalam kalimat “إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا”, hal ini menunjukkan kaidah agung dari Rasulullah Saw, syarat agar tidak tersesat selama-lamanya, adalah dengan berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Itu semua menunjukkan bahwa Ramadhan, sudah seharusnya dijadikan sebagai momentum membumikan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupan dengan landasan keimanan, mengatur segala aspek kehidupan manusia, IPOLEKSOSBUDHANKAM.
Dari mulai asas membangun kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Bukan akidah sekularistik, bukan politik demokrasi, bukan ekonomi kapitalistik, bukan sosial budaya liberalistik, tapi wajib kembali kepada ajaran Islam: akidah dan syari’ah.
Ialah al-Qur’an yang menjadi cahaya bagi kehidupan:
كالبدر من حيث التَفَتَّ رأيتَه * يُهْدى إلى عينَيك نورًا ثاقبًا
كالشمس في كَبِدِ السماء وضوؤُها * يَغْشَى البلادَ مَشَارِقًا ومغاربًا
”Bagaikan rembulan menarik perhatianmu memerhatikannya * memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”
”Bagaikan matahari di langit dan sinarnya * yang menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat.”
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
? Irfan Abu Naveed Al-Atsari
▫Peneliti di Raudhah Tsaqafiyyah Daerah Jawa Barat
▫Penulis buku kajian tafsir & balaghah “Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjama’ah”
▫Pengasuh Majelis Baitul Ummah Cianjur