Epistemologi Politik Indonesia Sangat Dipengaruhi Machiavelisme

Mediaumat.info – Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menilai epistemologi politik yang berkembang di Indonesia sangat dipengaruhi oleh paham machiavelisme.

“Epistemologi politik yang berkembang di negeri ini sangat dipengaruhi oleh paham machiavelisme,” ujarnya kepada media-umat.info, Selasa (10/9/2024).

Sehingga, lanjutnya, ketika umat Islam berpolitik, banyak yang kemudian salah paham dan berakhir pada perpecahan umat akibat sikap pragmatisme dan transaksional serta disorientasi.

Adapun prinsip politik machiavellisme, yang diambil dari karya utama pemikir politik Niccolò Machiavelli yang berjudul Il Principe (Sang Pangeran), tuturnya, sering dihubungkan dengan pandangan realis dan pragmatis tentang kekuasaan dan politik.

“Niccolò Machiavelli, seorang pemikir politik dari Italia pada abad ke-16, mengemukakan beberapa prinsip utama yang telah memengaruhi cara pandang politik hingga kini,” bebernya.

Sepuluh Kesalahan

Ahmad Sastra pun juga mengungkapkan sepuluh kesalahan paham Machiavelli. Pertama, menekankan pentingnya menghadapi politik dengan realisme, bukan idealisme.

Menurut Machiavelli, seorang pemimpin harus memahami dunia sebagaimana adanya, bukan sebagaimana seharusnya. Politik harus dijalankan berdasarkan realitas yang ada, termasuk mengenali dan mengelola kekuatan, kelemahan, dan ancaman.

“Dengan prinsip ini, maka seorang politikus Muslim tidak memiliki orientasi keislaman dalam berpolitik,” ungkap Ahmad.

Kedua, kekuasaan adalah inti dari politik, dan seorang pemimpin harus siap melakukan apa saja untuk mendapatkan dan mempertahankannya. Ini termasuk menggunakan kekuatan, manipulasi, dan strategi licik jika diperlukan.

Machiavelli berpendapat, tujuan (mempertahankan negara) sering kali dapat membenarkan cara-cara yang digunakan (permisivisme).

“Jika Muslim berpolitik menggunakan cara ini, maka yang terjadi adalah permusuhan di antara sesama Muslim gegara berebut harta dan tahta,” beber Ahmad.

Ketiga, pemimpin tidak harus selalu bertindak sesuai dengan moralitas tradisional, apalagi moralitas agama.

Machiavelli berargumen, pemimpin yang terlalu terikat pada moralitas ideal bisa kehilangan kekuasaan. Sebaliknya, pemimpin harus bersedia melanggar prinsip moral jika itu diperlukan untuk kebaikan negara.

“Itulah mengapa banyak Muslim yang menggunakan cara ini, menggunakan cara-cara amoral dalam berpolitik, seperti menipu, korupsi, suap-menyuap, dan fitnah bahkan hingga menyingkirkan lawan politik,” tuturnya.

Keempat, penampilan seringkali lebih penting daripada kenyataan dalam politik. Pemimpin harus terlihat kuat, tegas, dan bijaksana di mata rakyatnya, bahkan jika di balik layar mereka harus bertindak licik atau kejam.

“Publikasi citra yang positif bisa menjadi alat penting dalam mempertahankan kekuasaan. Inilah mengapa marak pencitraan dan gimik hanya untuk menarik simpati, padahal aslinya jahat dan licik. Jika Muslim demikian, maka ini kesalahan keempat,” ungkap Ahmad.

Kelima, Machiavelli memperkenalkan konsep virtù, yang mengacu pada kualitas seorang pemimpin seperti kecerdasan, keberanian, dan kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi. Sedangkan fortuna, mengacu pada keberuntungan atau nasib.

Menurut Machiavelli, seorang pemimpin yang hebat adalah mereka yang bisa mengendalikan nasibnya dengan memanfaatkan virtù untuk mengatasi perubahan dan tantangan.

“Hal ini bisa berakibat memanfaatkan apa saja yang dia mau untuk mempertahankan kekuasaan bagi politisi Muslim, meski harus melanggar prinsip-prinsip agama,” ungkap Ahmad.

Ketujuh, Machiavelli tidak mendukung kekejaman yang sembarangan, tetapi dia mengakui bahwa terkadang kekejaman yang terukur dan tepat sasaran dapat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan ketertiban. Kekejaman harus diterapkan secara strategis untuk mencapai stabilitas politik dan mencegah lebih banyak kekacauan.

“Apakah ada politisi Muslim yang kejam? Tentu saja banyak, karena dipengaruhi paham Machiavelli ini,” tuturnya.

Memecah-belah dan menguasai (divide et impera), menurut Ahmad, juga merupakan ajaran Machiavelli dalam berpolitik. Salah satu strategi yang dikenal dalam politik Machiavelli adalah memecah kekuatan lawan atau rakyat agar lebih mudah dikuasai.

“Dengan mencegah musuh-musuhnya bersatu, seorang pemimpin dapat mengontrol situasi dengan lebih efektif. Itulah mengapa kaum Muslimin di negeri ini terpecah belah gegara percaturan politik,” tutur Ahmad.

Kedelapan, politik tidak hanya ada dalam dua kutub yang berlawanan (misalnya kiri dan kanan) tanpa memahami nuansa dan kompleksitas yang ada di antaranya. Prinsip ini memberikan jalan kompromi di antara partai politik, meskipun secara ideologi berbeda, sebab dipertemukan oleh kepentingan pragmatis yang sama.

“Hal ini sangat berbahaya bagi politisi Muslim, karena Allah melarang mencampur-aduk antara yang haq dan bathil,” ungkapnya.

Kesembilan, mengaitkan isu politik dengan individu tertentu dan bukan dengan kebijakan atau ideologi. Misalnya, mendukung atau menolak suatu kebijakan hanya karena afiliasi politik tokoh yang mengusulkannya, bukan berdasarkan manfaat atau dampaknya.

Menurut Ahmad, itu adalah sebuah kesalahan. “Sebab politik hanya fokus kepada figuritas, bukan sistem dan ideologi. Ini berbahaya, sebab jika figur yang dijadikan pertimbangan, maka bisa jadi hari ini didukung, besok dihina,” tuturnya.

Kesepuluh, membuat generalisasi berlebihan tentang kelompok politik tertentu berdasarkan tindakan beberapa anggotanya.

Menurut Ahmad, ini bisa memicu stereotip dan kesalahpahaman yang memperburuk perpecahan. “Mestinya partai itu dilihat dari sisi ideologi yang diembannya, bukan semata dari perilaku anggotanya. Jika ada Muslim bermaksiat, bukan berarti Islamnya yang salah. Generasisasi inilah yang sering memicu perpecahan umat makin menajam,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi

 

Share artikel ini: