Enam Profesor Bicara Khilafah dan Jejaknya di Nusantara

Mediaumat.news – Enam profesor duduk dalam satu forum virtual membicarakan khilafah dan jejaknya di Nusantara dalam acara Islamic Civilization in Malay Archipelago Forum (ICOMAF) ke-6: Profesor Bicara Khilafah; Jejak Khilafah di Nusantara, Ahad pagi (20/9/2020) di kanal YouTube Mukmin TV.

Keenam profesor dimaksud adalah Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Guru Besar Undip Semarang); Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar (Profesor Riset dan Cendikiawan Muslim); Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, M.A. (Guru Besar UIN Ar-Raniry Aceh); Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.A. (Guru Besar Sejarah Islam UIN Ar-Raniry Aceh), Prof. Dr. Sharifuddin Md. Zain (Cendikiawan Muslim -University of Malaya) dan Prof. Dr. Zainal Abidin Alawy, M.A. (Pakar Hadits).

Acara ini dibuka oleh Keynote Speaker sekaligus tuan rumah acara Ustaz Dr. Yusrizal Abidin, M.A. Dalam sambutannya, ia menyoroti usaha pemblokiran film JKdN, dakwah khilafah oleh para ulama, persekusi pengajian-pengajian yang membicarakan tentang khilafah itu disebabkan karena terhalangnya informasi yang mereka dapatkan.

Ia menyitir sebuah pepatah Arab yang berbunyi An-Naasu ‘Adaa u Maa Jahiluu, Manusia itu menjadi musuh terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya. Maka penentangan yang terjadi saat ini, itu disebabkan adanya tabir informasi, ada tabir yang menghalangi informasi yang tepat atau yang benar mengenai tema khilafah ini, apakah itu karena dikaburkan atau karena dikuburkan.

“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mendakwahkannya ke seluruh penjuru dunia,” ujarnya mengutip definisi khilafah yang ditulis oleh Syeikh Taqiyuddin al-Nabhani.

Pendapat Prof. Suteki

Prof. Suteki menyorot persoalan khilafah ini dari perspektif hukum positif. Ia mengawali dari persoalan pencabutan BHP HTI oleh pemerintah dari semua tingkatan mulai dari gugatan PTUN, kemudian tingkat banding, sampai tingkat kasasi yang berakhir dengan ditolaknya gugatan HTI.

Namun dari semua keputusan pemerintah termasuk pengadilan itu tidak pernah ada pernyataan yang mengatakan HTI sebagai organisasi terlarang, hal ini sebagaimana Masyumi dahulu yang dibubarkan oleh pemerintah, tapi tidak ada pernyataan Masyumi itu Ormas terlarang. Berbeda dengan PKI,  PKI ditetapkan oleh TAP MPRS tahun 1966 sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.

Sebagai pakar hukum, ia juga mengatakan khilafah itu sistem pemerintahan Islam yang mengancam Pancasila menurut versi politik rezim, tetapi secara hukum tidak pernah dikatakan Khilafah sebagai ajaran Islam atau pemerintah Islam yang terlarang.

“Karena itu khilafah ini bukan milik HTI saja, tapi milik seluruh umat Islam, tak peduli apakah NU, Muhammadiyah, Persis dan lainnya mestinya suaranya sama bahwa khilafah ini ajaran Islam, dan Islam adalah agama yang diakui di negeri ini,” tegasnya.

Pendapat Prof. Fahmi Amhar

Sementara dari penelusuran literatur, menurut Prof. Fahmi, ditemukan 4 jenis keilmuan yang didapat di Nusantara dari persentuhannya dengan Khilafah yaitu ilmu agama, ilmu sastra, sejarah dan ilmu falak (astronomi), selain itu adalah tacit-knowledge (ilmu tak tertulis), seperti pembuatan masjid dan pembuatan senjata api.

Di Aceh, muncul ulama kualitas dunia yang nama-nama ilmuwan-ilmuwan tersebut diabadikan menjadi nama kampus ternama di Aceh yaitu Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkily (Syiah Kuala) juga ada Syamsuddin As-Sumtrani, dan masih banyak lagi termasuk ahli astronomi. Termasuk pembuatan Meriam Lada Sicupak dari Kesultanan Aceh masa Iskandar Muda dan Meriam Kijimat buatan Kesultanan Demak.

Pendapat Prof. Farid Wajdi

Narasumber yang dikenal oleh masyarakat Aceh sebagai singa podium, sangat berapi-api memaparkan presentasinya. “Kita, umat Islam ini jangan salah bicara sehingga menjadi musuh khilafah, kalau orang kafir wajah fobia kepada khilafah, wajar takut dengan kebesaran nama dan sejarah khilafah,” tegas Prof. Farid.

Ia juga mengatakan bagaimana mungkin bisa mengakui ilmu tafsir, ilmu hadits, mengakui ushuluddin, ulumul lughah, ilmu fiqh, ushul fiqh, ulumul quran, ilmu hadits, filsafat Islam dan berbagai macam cabang-cabang ilmu ajaran Islam namun tidak mengakui ilmu politik dalam Islam yaitu Khilafah?

Jadi orang yang tidak mengakui ini ada dua. Pertama, DNA-nya memang anti Islam. Kedua, gagal paham tentang ajaran Islam.

“Jadi siapa yang ngomong anti khilafah itu berarti anti Islam, munafik, menyerang khilafah sama dengan menyerang Islam,” tegasnya.

Pendapat Prof. Misri Muchsin

Prof. Misri yang juga pakar sejarah Islam menjelaskan adalah fakta bahwa Turki adalah pemegang mandat kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah bagi seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia ketika itu dan Aceh menjadi bagian darinya. Bantuan tentara Jenisaris dan bantuan logistik senjata yang dikirim dari Turki ke Aceh adalah di antara buktinya.

Ia juga menjelaskan dengan sangat detail hubungan amat erat antara Aceh dengan Kekhilafahan Turki Utsmani. Karena itulah ia menyimpulkan adalah sangat tidak masuk akal jika ada yang mengatakan tidak pernah ada jejak sejarah khilafah di Nusantara ini.

Menurutnya, Turki saat itu tetap disebut khilafah karena memiliki fungsi mengayomi seluruh kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Bukan seperti sekarang ini yang disekat oleh nation state, yang menyebabkan rakyat Palestina, Rohingya, Uighur dan banyak Muslim lainnya yang dibantai, dibunuh, diperkosa tanpa mendapat bantuan dari negara mayoritas Muslim lainnya, ibarat buih di lautan tapi lemah.

 Pendapat Prof. Sharifuddin

Tidak ketinggalan profesor dari negeri jiran Malaysia pun ikut membentangkan presentasi mengenai khilafah. Prof. Sharifuddin mengatakan bahwa khilafah merupakan tajul furud (mahkota kewajiban) atau dalam istilah Imam Syafi’ie sebagai ummul faraid (induk dari segala kewajiban).

“Tanpa institusi khilafah, banyak kewajiban dari ajaran Islam ini sukar bahkan tidak dapat dijalankan, mungkin ibadah shalat, puasa, haji, masih bisa kita laksanakan, namun bagaimana kewajiban hukum hudud dijalankan? Rajam bagi pelaku zina, potong tangan bagi pencuri, qishas bagi pembunuh, hukuman bagi perampok, peminum khamr, pelaku murtad, bagaimana juga fungsi negara yang melindugi jiwa manusia yang hari ini terjadi, hukum jihad, yang semua itu tidak dapat diterapkan tanpa adanya institusi Khilafah. Karena itu adalah kewajiban bagi Muslimin untuk berjuang mendakwahkan penyadaran mengenai khilafah ini,” tegasnya.

Pernyataan Prof. Zainal Abidin

Terakhir, Prof. Zainal Abidin Alawy, ulama Aceh yang sudah berusia 84 tahun. Walaupun sudah sepuh namun amat semangat bahkan sempat menangis menyampaikan nasihat kepada umat.

“Dakwah khilafah ini harus disebarkan tanpa henti, memberikan pemahaman kepada umat khususnya kepada pemegang kekuasaan hari ini agar berhati-hati ketika mendengar istilah khilafah, sebab khilafah adalah sesuatu kewajiban bagi umat Islam, ada dasarnya dari hadits-hadits Nabi. Sehingga menjadi munafik, tidak tahu tentang khilafah namun terus menentang. Insya Allah tahun 2024 kebangkitan Islam akan terjadi, mungkin kebangkitannya dimulai dari Aceh atau dari Nusantara ini,” pungkasnya dengan nada haru, menahan tangis.

Tak kurang dari 2000 pemirsa menyaksikan forum virtual ini ketika berlangsung. Sampai berita ini diturunkan, tayangan ini sudah ditonton lebih dari 7000 kali. Acara ini bisa ditonton kembali melalui link https://youtu.be/j5lTVOMMmrE.[] Wahyu Ichsan

Share artikel ini:

View Comments (2)

  • Assalamualaikum
    Maaf,

    Kenapa ketika saya share link ke WA, gambarnya kecilnya tidak muncul.??

    Padahal internet saya stabil dan cepat..