Mediaumat.id – Merefleksi berbagai peristiwa hukum yang terjadi pada tahun 2022, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. memberikan enam catatan yang berimplikasi terhadap Islam. “Berikut ini adalah catatan peristiwa hukum tahun 2022 yang memiliki implikasi terhadap Islam dan umat Islam,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Selasa (27/12/2022).
Pertama, kriminalisasi kebebasan berpendapat. “Undang-Undang ITE justru beberapa kali digunakan sebagai instrumen kriminalisasi bagi kelompok tertentu,” tandasnya mengawali, dan menyebut jumlah korban kriminalisasi UU ITE sudah tak terhitung banyaknya.
Bahkan, bukan hanya pasal ITE, tambahnya, Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Pidana yakni menyebarkan kebohongan pun sering menjadi kendala atas kebebasan menyampaikan pendapat.
Kedua, pernikahan beda agama di beberapa daerah yang justru permohonannya dikabulkan oleh pengadilan. Padahal Indonesia bukan penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya.
“Kultur di Indonesia tidak sama dengan kultur pada negara-negara lain di dunia yang merupakan penganut HAM bebas,” jelasnya.
Apalagi jika merujuk pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat (1) yang berbunyi ‘Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. “Dari pasal ini sudah sangat jelas terdapat frasa ‘menurut hukum masing-masing agama’,” tegasnya lagi.
Ketiga, narasi radikalisme yang digaungkan pemerintah serta dianggap sebagai awal dari suatu tindak pidana terorisme.
Celakanya, selain menerbitkan regulasi terkait ASN dan pegawai BUMN yang dituduh terlibat kelompok radikal hingga ancaman dikeluarkan dari pekerjaan, pemerintah senantiasa mengawasi atau menginteli di rumah ataupun tempat pekerjaan terhadap orang yang dituduh radikal.
Keempat, penindakan dalam hal ini penembakan terduga teroris hingga tewas yang justru tampak selalu menyasar umat Islam.
Menurutnya, sekalipun polisi diberi kewenangan untuk menembak dari peraturan Kapolri, namun bukan berarti bebas menembak sampai mati. Dengan kata lain, terduga dimaksud seharusnya bisa diproses sebagaimana ketentuan pidana yang berlaku.
“Proses hukum tersebut merupakan cerminan dari asas praduga tak bersalah dan memberikan kesempatan bagi pihak yang dituduh untuk melakukan pembelaan secara adil dan berimbang,” tuturnya.
Pun demikian terhadap aparat, imbuhnya, memang dibolehkan untuk menggunakan kekuatan atau kekerasan, terutama dengan senjata api, namun itu sebagai upaya terakhir.
Kelima, atas nama kebebasan, penistaan agama kian menjadi-jadi di tahun 2022. “Mulai dari kasus yang melecehkan Al-Qur’an, menghina Rasulullah SAW, dan simbol-simbol Islam serta ajarannya, bak jamur di musim hujan,” ulasnya.
Keenam, berkenaan dengan KUHP baru terutama ketentuan di Pasal 188 yang bisa digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi maupun memperoleh informasi berikut ancaman pidana penjara hingga 7 tahun.
Sebagaimana ia sebut sebelumnya, pasal tersebut sangat bermasalah. Khususnya mengenai norma ‘paham lain yang bertentangan dengan Pancasila’.
Selain tak ada penjelasannya, pihak yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila pun tidak diterangkan. “Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait ‘paham yang bertentangan dengan Pancasila’,” tandasnya.
Terlebih, pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
Untuk diketahui, hal demikian pernah terjadi di zaman Romawi kuno, hukum kala itu memberikan kebebasan luas bagi penguasa dalam memaknai istilah perbuatan jahat.
Akibatnya, penguasa bisa menjatuhkan sanksi pidana kepada siapa pun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. “Para penguasa atau raja di masa itu pun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang,” tambahnya.
Oleh karena itu, kata Chandra, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah tercakup dalam ketentuan perundang-undangan yang ada.
Selain itu, tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP baru dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang.
Sedangkan di Pasal 28E ayat (2), pungkasnya, disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.[] Zainul Krian