Lima Catatan Penting UIY terkait Polemik Revisi KUHP

Mediaumat.news – Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) memberikan lima catatan penting terkait polemik Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) warisan penjajah Belanda yang tak kunjung disahkan.

“Ada beberapa hal atau catatan penting yang bisa kita buat berkenaan dengan fakta tadi itu, bahwa (usia) KUHP kita ini ternyata lebih berumur 100 tahun,” ujarnya dalam program Fokus: RUU KUHP, Mau ke Mana? Ahad (20/06/2021) di kanal YouTube UIY Official.

Pertama, sebuah ironi besar ketika negara telah menyatakan merdeka, tetapi dalam menangani permasalahan pidana masih menggunakan hukum dari penjajahnya. Bahkan dalam hukum perdata maupun hukum dagang juga masih sangat banyak dipengaruhi oleh hukum Belanda. “Di mana letak merdekanya itu, kalau begitu keadaannya?” ucapnya prihatin.

Kedua, tidak pernah terjadi pembahasan serta kesepakatan tuntas yang mengakibatkan negara terus mengalami penundaan itu.

Ketiga, terdapat pasal-pasal kontoversi dalam RKUHP tersebut. Di antaranya, pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, santet, penghinaan terhadap pengadilan, penodaan agama, kumpul kebo, gelandangan (tuna wisma), aborsi dan marital rape (perkosaan di dalam perkawinan).

Keempat, sulitnya pencapaian kesepakatan yang disebabkan karena manusia cenderung selalu berpikir untuk mempertahankan kepentingannya di dalam pembuatan aturan. Misalnya, pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.

Menurut UIY, kelompok oposisi melihat pasal itu sebagai cara kelompok pendukung melindungi presiden saat ini. Namun pihak pendukung yang mengatakan presiden harus dilindungi, dulunya, ketika memilih menjadi oposisi, mendukung penghapusan pasal tersebut. “Bagaimana satu perkara yang sama itu dulunya ditolak, sekarang didukung, mengapa? Karena perbedaan kepentingan,” tegasnya.

Kelima, perbedaan cara pandang tentang terminologi pidana atau kriminalitas. Ketika pondasi atau asas di dalam memandang itu berbeda, pasti tidak akan pernah ketemu, pasti akan terjadi titik simpang.

“Bahkan kumpul kebo, yang secara subtansi termasuk perbuatan buruk, bisa menjadi wajar jika dilihat dari sudut pandang kaum liberal yang menjunjung hak asasi manusia dengan alasan suka sama suka,” jelasnya.

Selain itu, ungkap UIY, menyerahkan pembuatan hukum kepada manusia juga mengakibatkan ketidakpastian hukum. “Sebagaimana pernyataan Wakil Menkumham Edward Omar Sharif, hal itu sudah terjadi sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya, yang dikarenakan terdapat dua terjemahan KUHP, versi Prof. Moeljatno dan R. Soesilo,” bebernya.

Maka, lanjut UIY, untuk mengatasi semua itu, sangat penting menghadirkan tatanan hukum dari luar manusia. “Saya kira akan ketemu dengan, bukan gagasan ya, tetapi prinsip yang diyakini oleh Islam itu bahwa hukum itu memang haruslah datang dari luar manusia, harus datang dari yang menciptakan manusia,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: