Oleh: Taufik NT, MA.
Saat memberikan sambutan pada pembukaan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang ke-20 di Surakarta, Senin (25/10/2021), Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan pentingnya melakukan rekontekstualisasi sejumlah konsep fikih dalam rangka merespon tantangan zaman. Beliau menyampaikan empat alasan:
- Pengamalan Islam adalah operasionalisasi dari nilai-nilai substansialnya atau pesan-pesan utamanya, yaitu: tauhid, kejujuran, keadilan, dan rahmah.
- Model operasionalisasi tersebut harus dikontekstualisasikan dengan realitas aktual agar praktek-praktek yang diklaim sebagai pengamalan Islam tidak justru membawa akibat yang bertentangan dengan pesan-pesan utama Islam itu sendiri.
- Dakwah Islam harus dijalankan dengan tetap memelihara harmoni masyarakat secara keseluruhan.
- Walaupun tidak menjadikan non-Muslim berpindah (identitas) agama menjadi Muslim, diadopsinya nilai-nilai substansial Islam sebagai nilai-nilai yang operasional dalam masyarakat adalah capaian dakwah yang amat tinggi harganya.[1]
Sementara itu, masih di situs yang sama, ditambahkan alasan-alasan lainnya misalnya: “ketidakstabilan sosial dan politik, perang saudara dan terorisme yang timbul dari tindakan dari kelompok-kelompok Muslim ultrakonservatif yang bersikeras menerapkan elemen fiqh tertentu dalam konteks yang tidak lagi sesuai dengan norma klasik yang ada di era awal Islam.” Juga “setiap usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) – hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam, karena akan ada banyak pihak yang berebut untuk menguasai umat Islam di seluruh dunia.”[2]
Ada empat catatan penting yang jika tidak diperhatikan maka rekontekstualisasi fikih ini justru merusak agama.
1) Jangan Melewati Batas
Rekontekstualisasi adalah proses masuk kembali ke dalam konteks.[3] Tidak ada yang keliru dengan hal tersebut, bahkan sudah biasa terjadi dalam Islam. Hanya saja hal itu hanya terjadi pada hukum-hukum yang mengandung ‘illat (sebab pensyari’atan hukum) dan hukum-hukum yang ada ruang ijtihad di dalamnya.
Terkait hukum yang mengandung ‘illat, kaidah yang masyhur berbunyi:
الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا
“Hukum itu beredar bersama ‘illatnya, ada ataupun tiadanya”[4]
Oleh karena itu ketika pada masa Rasulullah SAW ghanimah hanya dibagikan kepada orang muhajirin dan dua orang anshor, sementara pada masa Abu Bakar r.a ghanimah dibagikan kepada semua umat Islam, dalam hal ini Abu Bakar r.a tidak bisa dipandang sedang mengubah hukum, namun sedang menerapkan hukum sesuai dengan konteksnya, karena illatnya adalah agar harta tidak beredar di kalangan orang kaya saja sebagaimana dalam surat Al Hasyr ayat 7.
Adapun saat khalifah Abu Bakar ra. melegalisasikan jatuhnya ucapan talak tiga tetap sebagai talak satu, sementara khalifah Umar r.a menjatuhkan ucapan talak tiga sebagai tiga kali talak, itu adalah dalam ranah ijtihad, karena ketiadaan dalil yang shahih dan sharih (jelas), yang tidak multi tafsir terkait hal tersebut.
Apa batasannya? Batasannya ada dua; pertama adalah adanya dalil, rekontekstualisasi yang terlepas sama sekali dari dalil, lalu mengikuti hawa nafsu semata[5] jelas tidak bisa dibenarkan.[6] Kedua, keqoth’iyyan dalil, rekontekstualisasi yang menabrak hukum yang qath’i (pasti) sumbernya, yakni Alquran dan hadis yang mutawatir dan qath’i pula dalâlah (penunjukan) maknanya, pada hakikatnya adalah perusakan terhadap agama Islam itu sendiri.
Sayangnya, di lapangan, justru hukum yang sudah pasti inilah yang selalu timbul dipermukaan dan dipersoalkan. Contoh hukum waris yang sudah jelas dalam Alquran, begitu direkontekstualisasikan dengan feminisme, ayat Alquran justru ditabrak begitu rupa. Begitu pula salat Jum’at, walaupun para ‘ulama selama ribuan tahun tidak berbeda menghukuminya sebagai wajib ‘ain bagi laki-laki dewasa yang tidak musafir, namun ada yang “mengoreksi”nya menjadi sebatas sunnah.[7] Tentang khamr dikatakan, “haramnya khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin.”[8] Bahkan yang lebih parah, antara iman dan kafir juga direkontekstualisasi, “jika kita gunakan analisis bahasa, dalam ayat itu (QS. 98:1) tersebut kata ‘min’ yang oleh mufasir disebut lit tab’îdz yang artinya sebagian. Jadi, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitâb. Artinya, tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.” [9] Pertanyaannya, mufassir mana yang memahami demikian. Bukankah para mufassir justru memahami “min” dalam ayat tersebut sekedar lil bayân atau li at-tabyîn?,[10] terlebih lagi bukankah Rasulullah SAW telah dengan gamblang memisahkan mana muslim mana kafir, misalnya dalam sabda beliau SAW:
والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة نصرني ولا يهودي ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار
“Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka.”[11]
2) Maqashid as-Syari’ah dan ‘Illat Hukum
Maqashid as-syari’ah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dibawa oleh syari’ah, dimana syariah telah menetapkannya, berusaha untuk mencapainya, dan menjadikannya ada di setiap waktu dan tempat.[12] Secara umum maqashid as-syari’ah mencakup dua hal: meraih kemashlahat atau mencegah bahaya.
Meskipun para ‘ulama ushul berbeda pendapat apakah meraih kemashlahat atau mencegah bahaya itu adalah ‘illat suatu hukum ataukah tidak,[13] namun mereka tidak berbeda pendapat terkait hukum syara yang qath’i sumber maupun penunjukan maknanya. Sebagai contoh, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menjaga nasab, namun para ‘ulama tidak ada yang memahami bahwa jika dengan teknologi (DNA) nasab bisa diketahui maka pernikahan tidak lagi diperlukan, lalu boleh melakukan zina misalnya. Tujuan diharamkannya khamr adalah menjaga akal, lalu jika minum sedikit dan tidak mabuk maka boleh. Selama ribuan tahun tidak ada ‘ulama yang berpandangan begitu, yang mereka bahas adalah semisal bagaimana dalam kondisi darurat, saat seseorang kehausan, sementara tidak ada yang bisa diminum selain khamr, bolehkah dia minum khamr? Lalu mereka kaitkan dengan salah satu tujuan syara’ yakni menjaga jiwa, hingga disimpulkan bahwa orang seperti itu boleh minum khamr, itupun dengan berbagai syarat tertentu.
3) Ketidakstabilan Itu Karena Penjajahan, Bukan Karena Fikih Islam
Kapitalisme, dengan konsep penjajahannya itulah yang membuat penderitaan manusia, baik dalam kondisi “stabil” maupun tidak stabil. Sebelum perang dunia I, mereka saling berperang Jerman dan Perancis melawan Rusia. Inggris kadang berteman dengan Perancis, kadang-kadang bermusuhan. Semua itu karena rebutan jajahan, bukan karena fikih. Pasca Perang Dunia I, meski mereka membentuk Liga Bangsa Bangsa, ketamakan untuk menjajah tidak terbendung hingga meletuslah perang terbesar yang pernah ada, Perang Dunia II dengan korban sekitar 70 juta, itu juga bukan karena fikih. Begitu juga pasca PD II banyak terjadi perang tidak langsung antara AS dengan US, seperti di Korea, Vietnam dll, itu juga karena rebutan daerah “jajahan”, bukan karena fikih.
Begitu pula yang terjadi di Timur Tengah, senantiasa bergolak karena rebutan kekayaan alam yang melimpah. Contoh yang jelas seperti di Suriah, penggulingan rezim satu dengan yang lain, jika dicermati dengan seksama, akan nampak bahwa itu terjadi karena persaingan antara Inggris dengan AS. Syukri al-Quwatli yang pro Inggris menolak pembangunan jalur pipa minyak (Trans-Arabian Pipeline/Tapline) perusahaan AS melewati Suriah, lalu dikudeta oleh Husni Zaim pada 30 Maret 1949. Empat hari pasca kudeta, pemerintah Suriah meratifikasi kesepakatan Tapline tersebut. Tidak sampai lima bulan setelah kudeta, Sammi al Hinnawi melakukan kudeta terhadap Husni Zaim, tak lamu pula Adib al Syisyakli menumbangkan Sammi al Hinnawi. Pertentangan antar mereka semua bukan karena fikih, namun karena perebutan kekuasaan yang ditunggangi kepentingan negara-negara penjajah.
Adapun dalam kondisi “stabil”, kapitalismelah yang secara nyata menyebabkan problem kemanusiaan. Di AS, negara paling maju dan demokratis, hampir 45.000 orang melakukan bunuh diri sepanjang tahun 2016.[14] Setiap menit 11 orang meninggal di seluruh dunia karena kelaparan[15] padahal 1,3 miliar ton makanan dibuang tiap tahunnya.[16] Ini belum lagi yang mati karena kejahatan, obat-obatan, miras, aborsi dll.
Di sisi lain, masyarakat di negara-negara maju Eropa banyak yang kehilangan agama. Dari penelitian terhadap kaum milenial, yakni yang berusia 16 sampai 29 tahun, 91% di Ceko, dan 70% hingga 80% di Estonia, Swedia, dan Belanda menyatakan bahwa mereka tidak beragama. Di Inggris, Prancis, Belgia, Spanyol, dan Belanda, antara 56% hingga 60% mengatakan tidak pernah ke gereja. Antara 63% hingga 66% tidak pernah beribadah. [17]
4) Khilafah Bukan Sumber Bencana
Ungkapan “usaha untuk mendirikan negara Islam-al-imamah al-udzma universal (Imamah Agung), juga dikenal sebagai al-khilafah (Khilafah) – hanya akan menimbulkan bencana bagi umat Islam” jelas keliru dari tiga sisi: Pertama, dari sisi realitas justru bencana yang dirasakan sekarang ini disebabkan kapitalisme global yang mendominasi dunia. Kedua, “hanya akan” itu berbicara terkait hal yang belum terjadi, sementara manusia tidak tahu pasti apa yang akan terjadi kecuali ada wahyu yang memberitakannya. Ketiga, justru terkait khilafah, wahyu berbicara sebaliknya:
… يملأ الأرض قسطاً وعدلاً كما ملئت جوراً وظلماً
“…akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana sebelumnya bumi diliputi kesewenang-wenangan dan kezaliman”.[18]
Terlebih jika yang diperhatikan bukan khilafah sekedar nama, namun dengan memandang substansinya -sebagaimana yang diharapkan pada point pertama-, dimana esensi khilafah adalah penerapan syari’ah, ukhuwwah dan dakwah, maka justru inilah yang menjadi jalan keluar dari bencana kapitalisme yang saat ini melanda. Bukankah Rasulullah SAW bersabda:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” [19]
[1] “AICIS 2021, Menag Sebut Empat Alasan Pentingnya Rekontekstualisasi Fikih,” diakses 27 October 2021, https://kemenag.go.id/read/aicis-2021-menag-sebut-empat-alasan-pentingnya-rekontekstualisasi-fikih-xknwx.
[2] “14 Kondisi Pendorong Pentingnya Rekontekstualisasi Fikih Di Era Global,” diakses 27 October 2021, https://kemenag.go.id/read/14-kondisi-pendorong-pentingnya-rekontekstualisasi-fikih-di-era-global.
[3] M. Wahid, Filsafat Umum: Dari Filsafat Yunani Kuno Ke Filsafat Modern, Cet. I. (Serang: Penerbit A-Empat, 2021), h. 11-12.
[4] Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Raudlatu An-Nâdhir Wa Junnatu al-Munâdhir, Cet. II. (Muassasah ar-Rayyan, 2002), Juz 2, h. 259; Taqiyuddin An-Nabhani, As-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, 4th ed., vol. 1 (Beirut: Dâr al-Ummah, 1994), h. 104.
[5] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 1, h. 42.
[6] Ibrahim bin Musa As-Syatibi, Al-Muwâfaqât, Pentahkik. Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan, Cet. I. (Dâr Ibn ’Affân, 1997), Juz 4, h. 224–225.
[7] “Akun FB Ibnu Muhdir (Penulis Buku: Salat Jum’at Adalah Sunnah, Bukan Wajib Dan Boleh Menjamak Salat Zuhur Sampai Isya’ Tanpa Sebab, Penerbit : CV Amanah Yogyakarta),” diakses 27 October 2021, https://web.facebook.com/photo?fbid=5030839096944493&set=a.4724051860956553.
[8] “Majalah Gatra :: Tafsir Agama Pemicu Fatwa,” diakses 13 November 2018, http://majalah.gatra.com/2002-12-16/majalah/artikel.php?pil=23&id=36657.
[9] “Apakah Non-Muslim Itu Kafir? | NU Online,” diakses 11 November 2018, http://www.nu.or.id/post/read/74012/apakah-non-muslim-itu-kafir.
[10] Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin Al-Suyuthi, Tafsîr Al-Jalâlain, Cet. I. (Kairo: Dâr al-Hadits, tt), h. 816; Nashiruddin Abu Said Abdullah bin ‘Umar Al-Baidhawi, Anwâr At-Tanzîl Wa Asrâr at-Ta’wîl, Pentahkik. Muhammad Abdurrahman al-Mar’asyali, Cet. I. (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-Arabi, 1418), Juz 5, h. 328.
[11] Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), No. 134; Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), No. 8203.
[12] Muhammad Musthafa Al-Zuhaili, Al-Wajîz Fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, Cet. II. (Damaskus: Dâr al-Khair, 2006), Juz 1, h. 102.
[13] Ibid., Juz 1, h. 104.
[14] “Angka Bunuh Diri Di AS Alami Lonjakan,” diakses 23 June 2020, https://www.voaindonesia.com/a/angka-bunuh-diri-di-as-alami-lonjakan/4431500.html.
[15] “Oxfam: Di Seluruh Dunia, 11 Orang Meninggal Akibat Kelaparan Setiap Menitnya Halaman All – Kompas.Com,” diakses 7 September 2021, https://www.kompas.com/global/read/2021/07/09/191725570/oxfam-di-seluruh-dunia-11-orang-meninggal-akibat-kelaparan-setiap?page=all.
[16] “G20: Makanan Yang Dibuang Masalah Global Besar,” diakses 6 July 2019, https://www.voaindonesia.com/a/g20-makanan-yang-dibuang-masalah-global-besar/2762631.html.
[17] “Mayoritas Generasi Milenial Di 12 Negara Eropa Mengaku ‘tak Punya Agama’ – BBC News Indonesia,” diakses 30 June 2021, https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43486011; “Survei: Mayoritas Generasi Milenial Eropa Mengaku Tak Beragama Halaman All – Kompas.Com,” diakses 28 October 2021, https://internasional.kompas.com/read/2018/03/22/15061811/survei-mayoritas-generasi-milenial-eropa-mengaku-tak-beragama?page=all.
[18] Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats Al-Sijistani, Sunan Abu Daud, Pentahkik. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, tt), No. 4282; Al-Hakim, Al-Mustadrak ’ala al-Shahihain (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), No. 8670, Al-Hakim menyatakannya shahih menurut syarat Bukhari – Muslim.
[19] Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), Hadis No. 4019.