Ekspedisi Khilafah ‘Utsmaniyah ke Aceh dimulai sekitar tahun 1565 M, ketika Khilafah Utsmaniyah membantu Kesultanan Aceh dalam pertempuran melawan Portugis di Malaka. Ekspedisi dilancarkan setelah dikirimnya duta oleh Sultan Alauddin al-Qahhar (1539–1571 M) kepada Sulaiman al-Qanuni pada tahun 1564 M, dan kemungkinan lebih awal, sekitar tahun 1562 M, saat meminta bantuan Khilafah ‘Utsmaniyyah untuk melawan Portugis.
Setelah tahun 1562, Aceh tampaknya sudah menerima bantuan Khilafah ‘Utsmaniyyah yang memungkinkannya menaklukkan Kerajaan Arudan Johor pada tahun 1564. Pengiriman duta ke Istanbul pada tahun 1564 dilakukan oleh Sultan Husain Ali Riayat Syah. Dalam suratnya kepada Porte Usmaniyah, Sultan Aceh menyebut penguasa Khilafah ‘Utsmaniyah sebagai Khalifah (penguasa) Islam.
Setelah Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat pada tahun 1566, putranya Sultan Salim II memerintahkan pengiriman armada ke Aceh. Sejumlah prajurit, pembuat senjata, dan insinyur diangkut oleh armada tersebut, bersama dengan pasokan senjata dan amunisi yang melimpah. Armada pertama terdiri atas 15 dapur yang dilengkapi artileri, namun dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman.
Akhirnya, hanya dua kapal yang tiba di Aceh, antara tahun 1566–1567, namun sejumlah armada dan kapal lain menyusul. Ekspedisi ini dipimpin oleh Kurdoglu Hizir Reis. Pada tahun 1568, Aceh menyerang Malaka, meskipun tanpa keterlibatan Khilafah ‘Utsmaniyyah secara langsung.
Khilafah ‘Usmaniyyahlah yang mengajari Kesultanan Aceh bagaimana cara membuat meriam, yang pada akhirnya banyak diproduksi. Dari awal abad ke-17, Aceh boleh berbangga akan meriam perunggu ukuran sedang, dan sekitar 800 senjata lain seperti senapan putar bergagang dan arquebus.
Setelah itu, Kesultanan Aceh dan Khilafah ‘Utsmaniyyah pun melakukan pertukaran dalam bidang militer, perdagangan, budaya dan keagamaan. Penguasa Aceh berikutnya meneruskan pertukaran dengan Khilafah Turki ‘Utsmaniyyah, dan kapal-kapal Aceh pun mengibarkan bendera Khilafah ‘Utsmaniyah. Hubungan antara Kesultanan Aceh dan Khilafah ‘Utsmaniyyah menjadi ancaman besar bagi Portugis dan mencegah mereka membangun mafia dagang monopolistik di Samudera Hindia.
Aceh merupakan saingan dagang utama Portugis, kemungkinan mengendalikan perdagangan rempah-rempah lebih banyak daripada Portugis, dan Portugis mencoba menghancurkan sumbu perdagangan Aceh-Turki-Venesia untuk keuntungan sendiri. Portugis berencana menyerang Laut Merah dan Aceh, namun gagal karena kurangnya tenaga manusia di Lautan Hindia.
Ketika diserang oleh Belanda pada tahun 1873, Aceh meminta perlindungan Khilafah ‘Utsmaniyyah. Sejarah ini pun terpatri dalam benak rakyat Aceh. Monumen bersejarah dan peninggalan yang ditinggalkan Khilafah ‘Utsmaniyyah di Aceh tidak bisa dihapus oleh mereka yang anti Khilafah. Mereka hanya bisa membelokkan sejarah, dengan membuat narasi palsu tentang hubungan Aceh dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah.[]