Mediaumat.info – Pakar Hukum Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. menyatakan ekspansi ideologi Zionis Israel telah mampu mengubah kebijakan negara.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa ekspansi ideologi transnasional Zionis Israel yang demikian sistemik, masif dan ofensif telah mampu mengubah keyakinan individual seseorang, utamanya kalangan elite. Kemudian berlanjut menjadi keyakinan komunal suatu bangsa. Pada ujungnya diarahkan menjadi kebijakan negara,” ungkapnya kepada media-umat.info, Ahad (21/7/2024).
Salah satu agenda Zionisme adalah pemisahan ekstrem antara negara dan agama (sekularisme).
“Dalam kaitan ini, berbagai kalangan dimanfaatkan guna kepentingan strategis mereka. Strategi utama Zionis di Indonesia adalah menjauhkan umat dari syariat Islam, utamanya dalam dimensi politik, hukum dan ekonomi,” bebernya.
Kondisi ini, lanjutnya, telah menjadi model pada masa kolonial Hindia Belanda yang dilanjutkan oleh kaum komunis. Pada masa kini, dijalankan melalui kolaborasi dengan kelompok liberalis-sekularis.
“Para mason yang direkrut dan sekutunya mengembangkan pemikiran bahwa syariat (hukum) Islam hanya sebatas inspirasi, namun tidak boleh diaktualisasikan dalam praktik ketatanegaraan. Kebenaran yang diusung oleh mereka berlandaskan akal semata. Dengan demikian baik, Al-Qur’an maupun hadits harus sesuai dengan logika manusia. Sepanjang dianggap tidak sesuai dengan logika, maka hukum Islam harus ditolak,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika Snouck Hurgronje dengan teori receptie mengamputasi hukum Islam dengan menyuperiorkan hukum adat, maka kondisi saat ini relatif sama.
“Syariat Islam menjadi inferior di mata eksponen liberal-sekular. Menurut mereka, syariat Islam dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan akal manusia. Jadi, akal manusia semata yang menentukan diterima atau tidaknya syariat Islam. Pada saat yang bersamaan paham demikian mendapatkan tempat dan perlindungan,” kritiknya.
Mendekontruksi
Dalam analisisnya, gerakan memisahkan dan menjauhkan syariat Islam tidak berhenti pada teori receptie (Islam bisa diterima selama tidak bertentangan dengan hukum adat), maupun pemikiran kaum liberal-sekular.
“Kini gerakan lebih spektakuler melalui tindakan mendekonstruksi silsilah keturunan Nabi Muhammad SAW. Tidak lagi mengkritisi atau meragukan tapi langsung dengan berani secara sepihak ‘membatalkan’ nasab Ba’alawi sebagai keturunan Rasulullah SAW,” urainya.
Ia menjelaskan, dekonstruksi mengacu kepada teori yang dibangun oleh Jacques Derrida yang terhubung dengan Critical Legal Studies sebagaimana disampaikan oleh Roberto M. Unger.
“Dalam ranah akademik pendekatan tersebut lazim digunakan. Namun penerapannya sebagai dalil pembenar klaim membatalkan nasab Ba’alawi tidak dapat dibenarkan. Di sini juga dipertanyakan legal standing pembatalan tersebut,” ulasnya.
Penolakan tersebut, ia menerangkan, akan berimplikasi serius terhadap legitimasi ajaran Islam yang masuk ke Indonesia, dan bisa jadi akan menegasikan sanad ajaran Islam yang dibawa oleh kalangan Ba’alawi.
“Dalam perspektif hukum pidana, penegasian sanad ajaran agama tersebut merupakan delik penodaan agama sebagaimana diatur dalam KUHP,” terangnya.
Dekonstruksi yang berujung klaim bahwa Ba’alawi berasal dari rumpun Yahudi, sambungnya, semakin menunjukkan polarisasi antara ulama Nusantara dan ulama Nonnusantara (Ba’alawi).
“Polarisasi tersebut akan semakin menunjukkan Islam Nusantara berbeda dengan Islam Arab. Salah satu tokoh ormas Islam mengatakan bahwa, bangsa Arab adalah “penjajah”. Frasa yang berkembang di dunia maya juga banyak menyebut kaum Ba’alawi Yaman memperbudak pribumi,” bebernya.
Mempercayai Kebohongan
Abdul Chair mengatakan, kebohongan demi kebohongan terus dilakukan secara meluas di masyarakat sehingga semakin dihadapkan pada pilihan mempercayai kebohongan.
“Dalilnya, ‘kebohongan yang dikalikan seribu akan menjadi kebenaran’. Pada akhirnya diharapkan menjadi kebenaran kolektif. Praktik demikian memang menjadi ciri khas zionisme,” tukasnya.
Dekonstruksi yang menegasikan alim ulama Ba’alawi, ucapnya, akan mendukung target pemisahan syariat Islam dari negara.
“Ketika upaya mereka telah mencapai eskalasi yang diinginkan, maka gerakan selanjutnya adalah penyatuan agama-agama. Gerakan ini dikenal dengan New Age. Keyakinannya adalah faith without religion, yang bermakna keimanan tidak terikat dengan suatu agama tertentu. Sejatinya, demikian itu menjadikan penganutnya tidak yakin akan kebenaran tunggal ajaran agama. Penganut agnostik dan ateis (komunisme) mendapat tempat dalam forum ini,” analisisnya.
Penyatuan agama-agama tersebut, menurutnya, akan menghancurkan ajaran agama dan kelak para penganutnya akan menuhankan Dajjal.
“Ke semua itu terkait erat dengan Tatanan Dunia Baru (Novus Ordo Seclarum). Slogan tersebut dapat dilihat dalam mata uang Amerika Serikat “One Dollar”. Apabila diperhatikan dan dibaca terbalik, maka terbaca “Our Dojjal”, Dajjal tuhan mereka. Masih banyak lagi simbol-simbol Zionis dalam mata uang tersebut,” bebernya.
Ia menilai, ideologi transnasional Zionis yang diekspansikan merupakan ancaman yang harus diwaspadai.
“Keberadaan actor nonstate seperti The America Jewish Committee (AJC) yang terhubung dengan Israel sebagai penerima manfaat dapat dikategorikan sebagai ancaman nirmiliter. Perpanjangan tangan Zionis tampil dalam banyak wajah. Mereka ada dalam ormas Islam, yayasan, LSM, dunia pendidikan dan lain sebagainya,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat