Eks Polisi Cina Akui Ada Penyiksaan pada Muslim Uighur, Direktur ImuNe: Tidak Mengejutkan
Mediaumat.news – Terkait pengakuan Jian (bukan nama sebenarnya), mantan polisi Cina, yang menceritakan bagaimana aparat kepolisian Cina menyiksa tahanan Muslim Uighur di Xinjiang, dinilai oleh Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara sebagai suatu hal yang tidak mengejutkan.
“Ini sama sekali tidak mengejutkan, sudah banyak saksi mata dan fakta-fakta terkuak ke publik, tapi masih saja rezim komunis Cina mengelaknya bahkan menutupinya dengan berbagai cara,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Kamis (6/10/2021).
Menurut Fika, tampaknya citra politik sangat penting bagi rezim Xi Jinping untuk memuluskan ambisinya menjadi kekuatan ekonomi dunia, hingga terus menutupi boroknya sendiri dalam kasus Xinjiang.
Fika menyesalkan, meskipun bukti dan kesaksian penyiksaan terhadap Muslim Uighur sudah sangat banyak, tetapi dunia Islam termasuk Indonesia tetap saja ‘bermesraan’ dengan Cina. Bahkan terbaru Taliban malah memberi lampu hijau kepada Cina untuk membangun Afghanistan.
Hal itu, kata Fika, disebabkan wala’ para pemimpin negeri Muslim sudah tergadai, bukan lagi pada Allah dan Rasul-Nya, melainkan mengabdi pada kepentingan nasionalistis dan ekonomi kapitalistis. Sehingga, menyambut tawaran investasi Cina yang menggiurkan itu akhirnya menjadi pilihan utama, bahkan disambut dengan karpet merah. Dan halal-haram tidak lagi dipedulikan.
Fika menambahkan, investasi Cina juga relatif mudah dan simpel, tidak seribet bantuan dari negara-negara Barat yang banyak syarat dan tetek bengek soal HAM dan demokrasi. Selain itu, memang negeri-negeri Muslim adalah negara target bagi Cina, target investasi dan ekspansi ekonominya.
“Inilah faktor utama kenapa penguasa Muslim mudah terjerat Cina, tak lain karena faktor cuan dan yuan,” ucapnya.
Fika memandang, para pemimpin negeri-negeri Muslim tersebut adalah penguasa ruwaibidlah yang tidak memiliki visi Islam dan integritas terhadap perjuangan Muslim. Keterikatan para pemimpin negeri-negeri Muslim tersebut hanya pada kepentingan kelompok, golongan atau partai yang membesarkannya. Bahkan memuja ide beracun nasionalisme dan kapitalisme, dan membebek Barat dalam menistakan ajaran Islam.
Maka, tutur Fika, wajar kalau para pemimpin negeri-negeri Muslim tersebut melihat Muslim Uighur sebagai warga negara asing, mereka tidak merasa punya kewajiban membelanya, dan tidak ada keterpanggilan untuk membebaskannya dari penindasan Cina.
“Penguasa-penguasa ini telah mengasingkan Muslim Uighur dari saudaranya sendiri, sekaligus telah mengasingkan umat Muslim dari persatuan hakiki umat yang dilandasi akidah Islam,” pungkasnya.
Pengakuan Jian
Seperti diberitakan CNN Indonesia, Selasa (5/10), seorang mantan detektif Cina yang meminta identitasnya dirahasiakan, membeberkan penyiksaan yang dialami tahanan Muslim Uighur di Xinjiang. Jiang, nama julukannya, menceritakan bagaimana aparat kepolisian Cina menyiksa etnis minoritas itu.
Jiang menceritakan kisahnya pada CNN di Eropa, tempat ia berada dalam pengasingan. Jiang menggambarkan kampanye sistematis untuk menyiksa etnis Uighur di sistem kamp penahanan kawasan itu.
Jiang mengatakan ratusan polisi dikerahkan ke rumah sejumlah warga Uighur. Para polisi memaksa warga keluar dari rumah, memborgol dan mengerudungi mereka, bahkan mengancam akan menembak mereka jika melawan. “Jika ada ratusan orang di satu daerah, maka Anda harus menangkap ratusan orang ini,” kata Jian.
Setelah menculik masyarakat Uighur, aparat kepolisian menyiksa mereka untuk mendapatkan pengakuan. “Tendang mereka, pukul mereka (sampai mereka) memar dan bengkak,” kata Jiang, mengingat bagaimana dia dan rekan-rekannya dulu menginterogasi tahanan di pusat penahanan polisi.
“Sampai mereka berlutut di lantai sambil menangis.”
Selama berada di Xinjiang, Jiang mengatakan setiap tahanan baru dipukuli selama proses interogasi. Beberapa di antara mereka adalah wanita dan anak 14 tahun.
“Setiap orang menggunakan metode yang berbeda. Beberapa bahkan menggunakan palang penghancur, atau rantai besi dengan kunci.”
“Polisi akan menginjak wajah tersangka dan menyuruhnya untuk mengaku,” Jiang membeberkan.
Tak hanya itu, pelecehan seksual juga dilakukan sebagai salah satu taktik mendapatkan pengakuan. “Jika Anda ingin orang mengaku, Anda menggunakan tongkat listrik dengan dua ujung tajam di atasnya,” tutur Jiang.
“Kami akan mengikat dua kabel listrik di ujungnya dan memasang kabel di alat kelamin mereka saat orang itu diikat.”
“Penyiksaan oleh polisi di pusat penahanan hanya berhenti ketika para tersangka mengaku,” kata Jiang. Tersangka yang mengaku biasanya akan dipindahkan ke fasilitas lain, seperti penjara atau kamp interniran yang dijaga oleh penjaga penjara.
Jiang juga mengakui pernah menjadi polisi bengis selama interogasi. Namun, ia mengatakan kerap menghindari kekerasan terburuk, tidak seperti beberapa rekannya. “Beberapa orang melihat ini sebagai pekerjaan, beberapa hanya psikopat,” katanya.
“Salah satu tindakan penyiksaan yang umum dilakukan adalah ketika penjaga memerintahkan tahanan memperkosa dan menyiksa narapidana laki-laki yang baru,” cerita Jiang.
Tak hanya itu, narapidana sering dipaksa untuk tetap terjaga selama berhari-hari, dan tidak diberi makan dan minum, katanya lagi.
Melansir CNN, Jiang menunjukkan seragam polisi, dokumen resmi, foto, video, dan identifikasi dari kegiatannya di Cina. Sebagian besar tidak dapat dipublikasikan untuk melindungi identitasnya.
CNN sendiri telah mengajukan pertanyaan terperinci kepada pemerintah Cina terkait tuduhan ini, tetapi masih belum mendapatkan tanggapan.[] Agung Sumartono