Mediaumat.id – Dalam menghadapi kondisi ekonomi global yang mulai diwarnai dengan perlambatan, pemerintah Indonesia diibaratkan seperti pemadam kebakaran yang tidak memiliki kebijakan antisipasi.
“Pemerintah sebagaimana biasanya tidak memiliki kebijakan antisipasi yang baik, ia akan berjalan seperti biasanya seperti pemadam kebakaran,” ujar Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Ahad (27/11/2022).
Sebagai contoh, lanjutnya, ketika rupiah menunjukkan pelemahan terhadap dolar Amerika ke level 15.700, Bank Indonesia hanya menggunakan cara klasik, yakni menaikkan suku bunga acuan, agar investor asing tidak kabur. “Cara seperti ini dampaknya sangat pendek, dan tidak menyelesaikan masalah fundamental,” tuturnya.
Padahal di saat yang sama, para pelaku usaha bakalan tertekan. “Sudahlah pasar ekspor turun, biaya bunga malah naik,” demikian kiranya, berkaitan dengan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia selama ini.
Sebelumnya, tentang pemberitaan Menteri Keuangan yang telah menyalakan alarm ekonomi Indonesia, Ishak memandang, konteks pembicaraan Sri Mulyani adalah prospek ekonomi tahun depan yang tidak begitu baik bagi perekonomian di negeri ini.
Salah satu sebabnya, ekspor Indonesia diperkirakan bakal mengalami penurunan, terutama ke Amerika Serikat dan Cina. “Amerika berpotensi resesi akibat tingkat suku bunga The Fed yang masih akan tinggi. Sementara Cina masih belum jelas sampai kapan akan menerapkan kebijakan lockdown untuk mengatasi covid-19,” ucapnya turut mengiyakan pernyataan Menkeu tersebut.
Di samping permintaan pasar melemah, imbas dari penurunan permintaan (ekspor), harga komoditas juga mulai menurun. “Padahal Indonesia sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti batu bara, minyak sawit, dan mineral,” tambah Ishak.
Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan Menkeu selanjutnya, dari efek global ini suka atau tidak, memang bakal memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Terbukti, Manufacturing Purchasing Managers Index Indonesia sudah mengalami kontraksi dalam dua bulan terakhir.
Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi APBN Kita, Kamis (24/11/2022). “Yang perlu kita lihat dan waspada adalah PMI Manufaktur kita. Selama 14 bulan ini ada di level ekspansif, namun di bulan terakhir adanya penurunan. Ini yang harus kita waspadai, karena menyangkut manufaktur yang penting,” jelas Sri Mulyani.
Untuk diketahui, PMI manufaktur di Indonesia pada Agustus 2022 mencapai 51,7, kemudian September di angka 53,7. Namun pada Oktober 2022, turun menjadi 51,8.
Sedangkan, Purchasing Managers Index (PMI) sendiri merupakan indeks gabungan dari lima indikator utama, yang meliputi unsur pesanan, tingkat persediaan, produksi, pengiriman, dan tenaga kerja. Angka indeks di atas 50 berarti sektor bisnis mengalami ekspansi, di bawah 50 berarti mengalami kontraksi.
Sementara kontraksi ekonomi terjadi ketika aktivitas ekonomi agregat menurun. Ukuran output agregat atau yang berarti nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian selama periode tertentu, biasanya satu tahun.
Seperti halnya produk domestik bruto (PDB) riil dan produksi industri. Jika PDB riil turun dalam dua kuartal berturut-turut, para ekonom menyebutnya pertanda resesi. Resesi yang parah disebut depresi.
Sistem Ekonomi Islam
Maka itu, Ishak menawarkan sistem ekonomi Islam. “Dalam pandangan Islam jelas bahwa sistem ekonominya akan solid menghadapi ancaman resesi global,” tegasnya.
Hal ini, kata Ishak menjelaskan, dikarenakan mata uang yang digunakan adalah mata uang dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik, yakni nilainya didasarkan pada aset berupa emas dan perak.
“Uniknya semakin tinggi ketidakstabilan di pasar keuangan, termasuk ketika perekonomian Amerika Serikat, sebagai pencetak dolar bermasalah, maka nilai emas akan cenderung menguat karena investor memahami bahwa emas memiliki nilai yang riil,” urainya.
Di samping itu, sambungnya, di dalam negara Islam tidak dikenal istilah perdagangan surat berharga yang berkaitan dengan riba seperti obligasi dan transaksi yang haram berupa perdagangan saham perseroan terbatas maupun komoditas berjangka.
Dengan demikian, alur masuk dan keluar investasi semata-mata didorong oleh investasi di sektor riil. Yakni sektor yang menghasilkan barang dan jasa yang bisa dinikmati secara riil pula.[] Zainul Krian