Ekonom Ingatkan Kekuasaan adalah Amanah dan Dilarang Khianat
Mediaumat.id – Terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan harga-harga energi subsidi sehingga Indonesia bisa terancam krisis multidimensi, Ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Fahrur Ulum, S.Pd., M.E.I. mengingatkan bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah yang di dalamnya dilarang berkhianat.
“Kekuasaan itu amanah. Kita dilarang untuk mengkhianati amanah,” tuturnya dalam Kabar Petang: Awas, Kezaliman akan Dibalas! Jumat (22/4/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Maka itu, sambung Fahrur, seperti halnya di dalam Al-Qur’an surah al-Anfal, ayat ke-27, Allah SWT telah memerintahkan kepada orang-orang beriman terutama yang memperoleh amanah kekuasaan untuk tidak sesekali berkhianat.
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.’
Diketahui, rencana menaikkan harga tersebut meliputi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis pertalite, solar subsidi, liquefied petroleum gas (LPG) 3 kilogram (kg) subsidi dan tarif dasar listrik.
Lantas ancaman krisis multidimensi yang dimaksud, kata Fahrur, merupakan efek domino dari rentetan persoalan yang akan ditimbulkan dari rencana kebijakan dengan menaikkan harga energi di tengah daya beli masyarakat turun.
“Ini ada efek domino yang luar biasa. Mulai dari banyaknya konsumen-konsumen yang inferior, daya beli masyarakat turun, pengangguran semakin meningkat, yang jelas ekonomi menjadi lesu,” ungkapnya seraya menjelaskan penyebab pengangguran karena dunia usaha pun akan mengalami kelesuan sehingga berdampak pengurangan jumlah tenaga kerja.
Begitu juga masyarakat mau tidak mau akan tetap membeli meskipun harga-harga tersebut naik, karena sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat.
Artinya, dari daya beli masyarakat yang rendah, akan berimbas pula naiknya angka kemiskinan. “Dalam kondisi sekarang saja karena pandemi dan ini, kemiskinan kita juga sepuluh juta orang lebih,” bebernya.
Diperparah dengan persoalan lainnya berupa kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 11% yang berimbas harga-harga kebutuhan masyarakat yang otomatis naik. “Belum lagi harga-harga seperti minyak goreng melejit luar biasa,” singgungnya terkait minyak sawit yang sudah sejak Oktober 2021 mengalami kenaikan harga.
Zalim
“Itu semua berarti ada ketidakadilan. Tidak adil itu berarti zalim. Karena makna dari zalim adalah lawan dari adil,” selanya.
Bahkan secara fakta, seperti diketahui sumber pendapatan negara, dalam hal ini APBN, ternyata porsi hingga 89 persen diambil dari pajak. Maknanya, untuk sekadar membiayai kehidupan bernegara, menurut Fahrur, sebagian besar bahkan hampir 90 persennya dikutip dari pajak.
“Dengan demikian maka (sekali lagi) ini terkategori sebagai sebuah kezaliman sistemik. Pajak yang terus ditarik dengan berbagai cara,” tekannya.
Hebatnya, sindir Fahrur, pemerintah terus berinovasi dengan berbagai upaya seputar pajak. Sebutlah amnesti pajak yang berjilid-jilid, hingga tax holiday atau pengurangan hingga penghapusan pajak. “Bahkan munculnya UU Omnibus Law itu kan sebenarnya adalah dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan pajak juga,” tandasnya.
Maknanya, dengan divestasi besar-besaran, sebagaimana ketentuan yang tertuang di dalam UU Omnibus Law, diharapkan investasi akan masuk ke beberapa sektor usaha yang di situ terdapat peluang objek penarikan pajak. “Semua upaya itu larinya adalah untuk memperbesar pendapatan dari pajak,” tukasnya.
Celakanya, kata Fahrur, dari divestasi-divestasi tersebut saat ini ternyata btidak produktif atau setidaknya produktivitasnya rendah. Pasalnya, suatu investasi harusnya terukur, sehingga tak semua investor tinggi produktivitasnya.
Malah secara Indonesia, produktivitas dari kebanyakan investasi yang ada ia sebut termasuk rendah. Hal itu bisa dilihat dari parameter ekonomi makro yang menggambarkan incremental capital output ratio (ICOR) atau rasio investasi kapital/modal terhadap hasil yang diperoleh justru tinggi. “Semakin tinggi ICOR, berarti semakin rendah pula produktivitasnya,” tegasnya.
Lebih celakanya lagi, tambah Fahrur, semua itu tetap dipaksakan dalam rangka mendapatkan pajak yang sebanyak-banyaknya. Termasuk menarik pajak dari kalangan menengah ke bawah.
Islam
Sejak awal, kata Fahrur menjelaskan, Islam menentukan pondasi ekonomi menjadi tiga macam kepemilikan harta. Yakni individu, umum, dan negara, berikut salah satu ketentuannya tidak boleh bergeser status kepemilikannya.
Namun sayang, konsep kepemilikan harta di negeri ini tidak demikian. Kekayaan alam yang semestinya terkategori harta milik umum bergeser menjadi milik negara bahkan yang lebih memprihatinkan Fahrur, bergeser pula menjadi milik individu melalui kebijakan swastanisasi.
Semisal, di balik harga BBM yang melambung tinggi dengan dalih mengikuti harga dunia yang juga naik, sebenarnya, kata Fahrur, dikarenakan bahan baku yang notabene dari perut bumi yang terkategori milik umum/rakyat bergeser menjadi milik individu/swasta.
“Seperti ini jelas, konsep (di dalam) Islam seperti ini tidak diadopsi, tidak dipakai. Sehingga ini adalah kezaliman yang terjadi secara sistemik kepada rakyat,” tukasnya.
Di sisi lain, kata Fahrur, penguasa demikian di dalam Islam dikatakan sebagai imarah as-sufaha, yakni pemimpin atau penguasa yang tidak mengikuti sunnah Rasulullah SAW di dalam menjalankan fungsi kepemimpinan sebagaimana penguasa adil.
“Rakyat ditipu dengan berbagai dalih, dengan berbagai jargon, dengan berbagai janji, akhirnya rakyat ditipu. Itu imarah as-sufaha,” jelasnya dengan mengatakan juga bahwa Rasulullah SAW, selain menjadi teladan dalam mengatur keluarganya, pun menjadi uswatun hasanah dalam hal dakwah, politik hingga mengatur sebuah negara.
Lain halnya apabila di dalam menjalankan fungsi-fungsinya, seorang penguasa senantiasa mendasarkan pada prinsip-prinsip hukum Allah SWT, maka patut disebut pemimpin yang adil. “Itu adil, kalau penguasa itu bisa menjalankan semua hukum-hukum Allah,” ucapnya mengawali penjelasan berkenaan dengan syarat adil selain amanah, dengan menukil Firman Allah SWT yang artinya,
‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil’ (QS an-Nisa’: 58).
Apalagi ditambah dengan keimanan atas keadilan Allah SWT yang bersifat mutlak, tidak dipengaruhi oleh apa pun dan oleh siapa pun, maka, kata Fahrur, hukum-hukum Allah pasti membawa keadilan pula.
Dengan kata lain, penguasa yang baik adalah selain amanah juga harus berbuat adil berikut penerapan seluruh aturan-aturan Allah SWT. Baik dalam urusan perdagangan, pendidikan hingga perpolitikan.
Dengan demikian, munculnya berbagai kerusakan akibat krisis multidimensi di dalam sistem kapitalis sekuler saat ini, solusi yang ditawarkan bukan dengan cara kapitalistik pula. “Tambal sulam itu namanya” ujar Fahrur.
Tetapi di luar itu ada dua kemungkinan, karena ideologi, menurut Fahrur, hanya ada tiga. Kapitalisme, sosialisme-komunis dan Islam. “Sosialis komunis, jelas, kalau kita lihat enggak adil di sana,” timpalnya yang kemudian beralih menawarkan satu-satunya solusi tuntas, yakni Islam.
“Maka satu-satunya cara adalah secara fundamental, harus kembali kepada sistem Islam. Di mana kalau bicara tentang pendidikan, Islam; kalau bicara tentang ekonomi, Islam; kalau bicara tentang politik, Islam,” tandasnya.
Hal ini sejalan dengan definisi politik dalam islam, yakni al-riayatul suunil ummah yang artinya mengurusi kepentingan rakyat. “Bagaimana caranya? Menerapkan syariat, syariat Islam yang kafah,” pungkasnya.[] Zainul Krian