Ekonom: Demokrasi Tidak Dapat Meratakan Kesejahteraan

Mediaumat.info – Ekonom Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPD) Dr. KH. Fahrul Ulum menilai, demokrasi tidak dapat mengantarkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat di level dunia.

“Pernah ada demo Occupy Wall Street (OWS) di pusatnya demokrasi, yaitu AS, mereka menyuarakan slogan we are the ninety-nine percent, artinya yang menikmati kesejahteraan dengan diterapkan demokrasi hanya 1 persen saja, sedangkan mereka 99 persen tidak mendapatkan kesejahteraan,” tuturnya dalam acara Menyongsong Indonesia Baru, Saatnya Membuang Komunis dan Demokrasi, Ahad (3/10/2024) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.

Menurut Fahrul, apabila ditarik ke level nasional, ternyata demokrasi itu tidak pernah selesai pada pengentasan kemiskinan. “Misalnya kemiskinan di negeri ini mencapai 26 juta penduduk apabila menurut garis kemiskinan nasional, sedangkan menurut garis kemiskinan World Bank, jauh mendekati kemiskinan 100 juta penduduk,” ujarnya.

Menurutnya, dalam demokrasi taraf pengangguran cukup tinggi, bahkan terbesar di ASEAN. “Berdasarkan riset, ada 8 juta orang yang nganggur. Bahkan anehnya, sebagian besar pengangguran merupakan laki-laki, sehingga perekonomian keluarga ditopang perempuan, dan akhirnya terjadi perubahan beberapa model interaksi di tengah masyarakat. Inilah alam demokrasi,” imbuhnya.

Fahrul menyampaikan, kalau melihat pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang menganut demokrasi tidak mencerminkan kesejahteraan yang nyata di tengah masyarakat. Realitas pertumbuhan ekonomi hanya 4 persen, itu pun sudah menghitung sektor ekonomi nonriil, seperti sektor keuangan. Padahal kalau memasukkan sektor keuangan di dalam mengukur pertumbuhan ekonomi itu sama saja dusta.

“Hal tersebut terkenal dengan istilah the bubble economy atau ekonomi yang menggelembung, karena sektor nonriil dimasukkan ke dalam ukuran pertumbuhan ekonomi,” cetusnya.

Ia menyampaikan, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara yang menganut demokrasi mengalami stagnan, sedangkan stagnan ekonomi harus diimbangi dengan menurunkan tingkat pajak, karena dengan menurunkan tingkat pajak dapat membuka lapangan pekerjaan, tetapi dengan menurunkan tingkat pajak tidak mungkin, karena penerimaan terbesar APBN dari pajak.

“Menurunkan pajak sama saja silamakama dan mustahil,” bebernya.

Berdasarkan data APBN, imbuhnya, pendapatan negeri ini 2.780 triliun, belanja mencapai 3.300 triliun. Ironis, dari pendapatan 2.780 triliun, yang 2.300 triliun bersumber dari pajak. “Seharusnya untuk menggerakkan ekonomi perlu mengurangi pajak, namun pajak sebagai penompang APBN, tentu ini sangat tidak mungkin,” tandasnya.

Fahrul mengatakan, laju ekonomi cepat, artinya stagnan ekonomi harus diimbangi dengan dikurangi kemiskinan, analoginya, ketika kemiskinan rendah semua orang akan bergerak, kalau semua orang bergerak berarti ekonomi jalan, kalau ekonomi jalan berarti velocity of money (perputaran uang) itu jalan, maka kemauan itu tinggi.

“Tapi itu juga susah, karena siklusnya akan kembali lagi ke pajak tadi,” pungkasnya.[] Novita Ratnasari

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: