Eggi Sudjana: Seharusnya Polisi Pertemukan Pendemo dengan yang Didemo

 Eggi Sudjana: Seharusnya Polisi Pertemukan Pendemo dengan yang Didemo

Mediaumat.id – Advokat dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.  menegaskan bahwa seharusnya polisi mempertemukan pendemo dengan yang didemo.

“Seharusnya kita sebagai pendemo dipertemukan dengan yang didemo. Itulah tugas polisi. Maka dari itu, sebagai alat negara seharusnya polisi melindungi, mengayomi, dan menolong rakyat dalam berdemo,” tuturnya dalam Perspektif PKAD-Dahsyat! Hari Ini Bergolak!!! Usai Buruh dan Mahasiswa Bergerak!!! di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Senin (12/9/2022).

Menurutnya, jika polisi kooperatif, maka tiga hari atau setidaknya dua hari sebelum aksi, peserta aksi memberitahu kepada polisi supaya polisi berkoordinasi dengan yang didemo. Jika yang didemo adalah presiden, maka tugas polisi mempertemukan pendemo dengan presiden.

Ia mengatakan, secara filosofis dan yuridis, polisi harusnya melindungi, mengayomi, dan menolong dalam konteks kepentingan rakyat. Jadi, bukan melindungi dan mengayomi pemerintah karena polisi bukan alat pemerintah tetapi sebagai alat negara.

“Dengan demikian, misalkan mendemo istana, maka polisi harus memfasilitasi penghuni istana supaya hadir dalam demo itu, dan harus menjaga bukan merintangi dengan pagar besi dan pagar kawat atau dengan pentungan-pentungan,” katanya.

Menurutnya, jika aparat merintangi peserta aksi, hal tersebut tidak sesuai dengan perspektif hukum. Lihat saja Pasal 13 huruf A, B, C, D, E. Kalau bisa, diklik, Undang-Undang 9 tahun 1998 supaya tidak fitnah.

Ia menjelaskan, jika substansinya demo istana berarti ke Jokowi. “Namun, kenapa presidennya tidak ada, dan sering dia ngomong di media sosial ‘rindu didemo’. Lha, ini didemo, kabur. Ini berarti tidak sesuai dengan perkataan, perbuatan, dan tidak taat hukum,” cetusnya.

Tuntutan Demo

Sementara itu menurutnya, dari analisis perspektif data yang ada, jika tuntutan demo hanya tiga poin yaitu pertama, turunkan BBM; kedua, turunkan harga-harga; dan ketiga, tegakkan supremasi hukum, demo seperti itu tanggung dan ngambang.

“Demo itu kan ketika sudah tak ada solusi. Sehingga, tinggal bergerak. Kalau masih mencari solusi atau himbauan seperti menegakkan hukum, pantasnya di ruang-ruang seminar, ruang-ruang yang sifatnya forum dialog. Sedangkan demo itu sudah tidak ada dialog lagi, tetapi unjuk rasa,” terangnya.

Ia mengatakan, pendekatan unjuk rasa secara ilmu hukum dan undang-undang negara yang mengaturnya adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 khususnya di Pasal 13.

“Maka, polisi tidak boleh bawa pentungan dan seharusnya para pendemo diantar ke istana dan presiden jangan kabur. Jika ia kabur, tidak sesuai dengan UUD 45 dalam Pasal 27 ayat 1 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Unjuk Rasa,” tuturnya.

Ia mengungkapkan, jika ada pengawasan yang benar dari DPR mestinya presiden dipanggil oleh DPR. Namun, bagaimana DPR mau memanggil karena presidennya petugas partai dari PDIP, ketua DPR orang PDIP, jadi tidak mungkin ada pemanggilan presiden oleh DPR.

“Hal ini saya katakan sebagai bentuk sayang saya terhadap presiden, bukan rasa benci. Hidup akan terus berjalan, janganlah akhir hidup kita su’ul khatimah tetapi harusnya kita mati dalam keadaan husnul khatimah,” harapnya.

Menurutnya, Jokowi mempunyai peluang masuk surga paling tinggi, jika ia menjadi pemimpin yang adil tetapi kalau tidak, dia di neraka paling bawah.

“Artinya sekarang presiden dan wakilnya yang membantu merupakan orang yang berpotensi paling tinggi masuk surga, tetapi jika sebaliknya justru menzalimi rakyatnya, maka keduanya masuk neraka jahanam,” katanya.

Oleh karena itu, menurutnya, supaya tidak berulang kepada situasi yang tidak baik seperti saat ini, maka tuntutan demo harus jelas, tegas, dan solutif.

“Sebab ini adalah untuk kebaikan bangsa dan negara,” tuntasnya.[] Nurmilati

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *