Dunia Darurat Iklim, Prof. Fahmi Amhar: Harus Ada Perubahan Cara Pandang Hidup

Mediaumat.news – Menanggapi pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres yang menyerukan semua negara untuk menetapkan status ‘darurat iklim’ pada Sabtu 12 Desember 2020, Cendekiawan Muslim Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar menilai harus ada perubahan cara pandang hidup manusia.

“Kalau kita ingin serius mencapai target dari konvensi lingkungan dunia itu memang harus ada perubahan yang cukup drastis pada cara pandang manusia hidup,” tuturnya dalam acara Kabar Malam, Senin (14/12/2020) di kanal YouTube Khilafah Channel.

Menurutnya, konvensi lingkungan diciptakan untuk mengurangi tren climate change dengan cara mengurangi secara bertahap dan terukur serta teragendakan dengan jelas yakni penggunaan bahan bakar fosil diganti dengan energi baru yang terbarukan. “Jadi, energi fosil diganti dengan surya, bayu, pasang surut atau gelombang laut dan dengan nuklir,” ujarnya.

Namun, ia menyesalkan agenda tersebut tidak ditaati sampai saat ini. “Tren yang ada bahan bakar fosil atau energi fosil itu masih sangat tinggi dan tidak tampak menurun secara signifikan sekalipun gara-gara Covid-19 ini lumayan turun. Tapi, secara umum belum menurun secara signifikan. Tidak seperti yang diagendakan oleh konvensi lingkungan  dunia. Pada saat yang sama ternyata kemajuan dalam bahan energi baru yang terbarukan juga tidak seperti yang diharapkan sehingga dunia masih memakai energi fosil,” bebernya.

Ia mengakui memang ada masalah teknis. “Seperti energi matahari memang tidak terbatas. Matahari bisa hidup hingga miliaran tahun ke depan, tetapi bahan baku yang digunakan untuk membuat solar panel itu terbatas. Perlu ada rangkaian elektronik dan silikon. Itu terbatas. Demikian juga pembangkit listrik tenaga angin. Itu juga sama. Angin tidak terbatas tetapi materi untuk membangun PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) itu terbatas,” jelasnya.

Menurutnya, riset di bidang ini masih cukup baru dan di negara-negara Barat terkait penemuan-penemuan ini, masih harus diperbaiki lagi. “Investasinya balik dulu karena masih terlalu mahal,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia berharap khususnya pada negara yang saat ini mengonsumsi energi paling banyak agar mengganti energi lain untuk mengurangi emisi global yakni dengan nuklir atau PLTA.

“Konsumsi energi terbesar di dunia itu di AS. Itu paling tinggi. Bahkan dibandingkan dengan negara maju yang lain AS itu bisa 2-3 kalinya Jerman. Padahal Jerman itu sudah berlipat-lipat kali dari Indonesia. Masalahnya, ini dibangkitkan dari pembangkit listrik energi fosil dari batu bara yang efeknya ke climate change tapi kalau dibangkitkan dari nuklir atau PLTA mungkin akan berbeda,” ujarnya.

Ia menilai AS memiliki cara pandang kapitalis yang menganggap bahwa kebahagiaan itu dicapai dengan kepuasan berupa materi. “Orang jepang atau orang Indonesia itu kalau beli mobil, cari yang irit. Gampang parkirnya, irit bensinnya. Kalau di Amerika itu cari yang nyaman. Di AS itu jarang mobil cc-nya kecil, 1000 cc itu jarang. Di sana mobil 3500 cc. Lah itu boros sekali. Kalau kita cari rumah. Karena kita memang enggak punya uang, rumah yang seirit-iritnya. Listrik, kalau ada yang 900 watt. Namun, sekarang pemerintah maunya minimal 1300 watt. Kalau di AS satu rumah kecil, flat paling kecil seluas 40 meter persegi itu listriknya 10000 watt. Kenapa? Karena di dalamnya ada mesin cuci yang pengeringnya pakai listrik paling tidak 3000 watt. Ada kompor listrik, itu satu kompornya 2000 watt. Jadi sangat boros,” bebernya.

Menurutnya ini adalah masalah ideologis. “Selama orang berpandangan hidup sekuler maka akan seperti itu. Karena agama tidak dijadikan acuan. Orang berpikir, saya ini bebas. Sesuka saya selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Saya punya mobil yang besar kan suka-suka saya. Saya bisa bayar. Toh saya enggak mengganggu orang lain. Lah itu kan ideologis,” ujarnya.

Padahal hal tersebut, menurutnya lebih banyak menghabiskan energi daripada orang lain. “Energi akan lebih cepas habis dan pada saat yang sama akan mengotori lingkungan. Membuat climate change. Orang-orang kaya yang mobil cc-nya besar berkontribusi kepada kerusakan lingkungan lebih besar daripada orang yang enggak punya mobil,” tegasnya.

Oleh sebab itu, ia mengatakan harus ada perubahan paradigma dari sisi ideologi jika nanti Islam memimpin dunia. “Tentunya umat Islam diharapkan nantinya menjadi leader, menjadi pemimpin dalam mengatasi krisis lingkungan global ini,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: