Oleh: Fajar Kurniawan (PKAD)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencekalan terhadap 38 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara untuk tidak berpergian ke luar negeri. Mereka dicekal terkait statusnya sebagai tersangka dalam dugaan kasus pemberian suap kepada mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho. Pelaksana tugas harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati menuturkan, pencekalan dilakukan hingga 6 bulan ke depan. “Mereka dicekal untuk 6 bulan ke depan terhitung 19 April 2018,” kata Yuyuk di gedung KPK, Jakarta (26/4/2018).( https://nasional.kompas.com/read/2018/04/26/08453911/kpk-cegah-38-anggota-dprd-sumatera-utara-ke-luar-negeri.)
Tekad berbagai kalangan, termasuk Pemerintah, untuk memberantas korupsi sepertinya tidak mengurangi kecepatan laju korupsi. Korupsi di negeri ini kian menggurita; mulai dari tingkat pusat sampai ke pelosok. Indonesia Corruption Watch mencatat, pada tahun 2017 terdapat 576 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Jumlah tersangkanya mencapai 1.298 orang.
Berdasarkan rilis ICW, Selasa (20/2/2018), jika dibandingkan tahun 2016, penanganan kasus korupsi tahun 2017 mengalami peningkatan signifikan. Hal ini terutama pada aspek kerugian negara. Pada 2016, kerugian negara dari 482 kasus korupsi mencapai Rp 1,5 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 6,5 triliun pada tahun 2017. Modus korupsi yang paling banyak digunakan dalam kasus korupsi tahun 2017 adalah penyalahgunaan anggaran. Ada 154 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun dengan modus ini. Modus lainnya, penggelembungan harga (mark up) dan pungutan liar dengan masing-masing sebanyak 77 kasus dan 71 kasus.
Dampak korupsi, masyarakat banyak tentu yang paling dirugikan. Dana yang selayaknya untuk keperluan masyarakat, beralih kepada individu koruptor. Publik telah melihat fenomena perilaku para elit politis pada akhirnya tidak jauh beda dengan seorang “investor” yang melakukan investasi dari “industri politik”-nya. Konsekuensinya, dalam masa jabatannya, mereka akan berusaha semaksimal dan sesingkat mungkin untuk mengembalikan dana “investasi” tersebut. Ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem politik kapitalis. Bahkan arah sistem pemerintahan dengan model “cooporate state” semakin membuktikan fenomena ini. Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik, sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis politik tersebut.
Secara personal terletak pada pelaku atau manusianya. Banyak pribadi yang tidak bertakwa sehingga tidak amanah dalam menjalankan tugas. Sebagus dan sebanyak apa pun aturan yang dikeluarkan untuk memberantas korupsi, jika pelakunya tidak amanah, UU dan aturan tersebut tidak pernah efektif. Sejak reformasi saja, telah keluar 2 TAP MPR, lima UU ditetapkan, lima PP dikeluarkan, satu Kepres dan satu Inpres telah ditandatangani. Namun, korupsi tetap jalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor. Bahkan jika UU MD3 disahkan, menurut sebagian pengamat mengandung bahaya dalam konteks hancurnya negara hukum.
Bagi kebanyakan rakyat, korupsi bahkan sudah menjadi kegiatan yang amat biasa dan karena itu tidak perlu dipermasalahkan. Secara individu pula, gagalnya penanganan kasus korupsi adalah karena pelaku korupsi itu sering para penegak hukum itu sendiri. Bagaimana mungkin penyelesaian korupsi akan kita harapkan dari pihak yang melakukan, yang memberikan fasilitas dan “memelihara” tindak korupsi itu sendiri? Yang paling menyakitkan rakyat banyak adalah, jika “kejahatan sosial politik ini” diselesaikan secara “politik”.[]