Mediaumat.id – Menyoal vonis lepas terhadap dua polisi penembak laskar FPI (Front Pembela Islam) dalam kasus KM 50 dengan pertimbangan pasal 49 ayat (2) sebagai pembenar dan pemaaf, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pelita Umat (LBH PU) menyinggung tentang ayat sebelumnya.
“Jangan dilupakan pasal 49 ayat (1). Pasal 49 ayat (1) itu memberikan garis bawah, agar pasal 49 ayat (2) ini bisa dilakukan,” kritik Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. dalam Kabar Petang: Geger Vonis Bebas Pembunuh Laskar FPI: Sidang Sesat? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (21/3/2022).
Diketahui, dalam persidangan yang digelar pada Jumat 18 Maret 2022, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan telah menjatuhkan putusannya atas perkara dugaan tindak pidana pembunuhan di luar hukum alias unlawful killing untuk terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Mohammad Yusmin Ohorella dengan hukuman bebas alias tidak dipidana.
Menurut Chandra, istilah pembelaan diri yang melampaui batas sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (2) KUHP, bisa digunakan sebagai pertimbangan pengambilan putusan, apabila unsur di pasal 49 ayat (1) terpenuhi.
Artinya, kalimat ‘pembelaan diri yang sifatnya darurat dan melampaui batas’ di pasal 49 ayat (2) KUHP, baru bisa dibenarkan setelah unsur di pasal 49 ayat (1) terbentuk.
“Pasal 49 ayat (1) itu, di situ bunyinya adalah tindakan seketika atau sekonyong-konyong dan pada waktu itu juga,” tandasnya dengan mengartikan hal itu sebagai tindakan refleks.
Kalaupun misalnya santri pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) memang dianggap sebagai penyerang, sambung Chandra, berarti mestinya tindakan pembunuhan atas mereka dilakukan secara refleks.
Jelasnya, dalam konteks pembunuhan secara refleks sebagai upaya membela diri, maka menurut Chandra, penggunaan pasal 49 ayat (2) dapat dibenarkan. “Tindakannya sekonyong-konyong dan pada saat itu juga dan ketika itu juga,” jelasnya.
Beda cerita ketika sudah ditangkap, menyerah, tetapi malah disiksa. “Misalnya, orang itu ditangkap. Setelah ditangkap misalnya disiksa. Kan berarti sudah melewati batas unsur yang sudah ditentukan pada pasal 49 ayat (1), seketika itu juga, kan itu batasannya,” urai Chandra.
Celakanya, berdasarkan temuan Komnas HAM, ungkap Chandra, lembaga independen tersebut mengatakan bahwa memang ada dugaan penyiksaan di dalam kasus KM 50. “Begitu juga dalam dakwaan yang disebutkan oleh jaksa,” tambahnya.
Atas dasar itu, kata Chandra, unsur di pasal 49 ayat (1) tidak terpenuhi dan tidak masuk ke dalam unsur pemaaf. “Itu tidak masuk kategori unsur pemaaf, mestinya begitu,” ucapnya.
Tetapi lagi-lagi, di dalam suatu majelis persidangan, bebernya, lebih banyak berisi adu argumen. Ujung-ujungnya, tetap saja majelis hakim yang nantinya mengambil tafsir mana yang akan diterapkan. “Saya kira ini tentu akan mencederai rasa keadilan di tengah-tengah publik,” timpalnya terkait vonis lepas tersebut.
Terlebih, persoalan itu termasuk dalam konteks penghilangan nyawa warga negara. “Ini menjadi perhatian penting dalam proses penegakan hukum terutama dalam konteks penghilangan nyawa terhadap warga negara,” tuturnya.
Namun setidaknya secara hukum positif yang berlaku saat ini, ia mengimbau agar mengadukan majelis hakim terkait ke dewan pengawas, atau komisi yudisial, termasuk juga kepada DPR RI dalam hal ini, Komisi III. “Melaporkan dalam konteks penerapan penafsiran menggunakan unsur pemaaf tadi,” sambungnya.
Tak hanya itu, ia juga berharap jaksa penuntut umum (JPU) tidak serta merta menerima keputusan tersebut. “Alangkah arifnya kalau jaksa itu melakukan banding dan upaya hukum sampai ke kasasi untuk menguji tafsir yang digunakan oleh majelis hakim tersebut,” pungkasnya.[] Zainul Krian