Soal:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Pertama, saya ingin berdoa untuk Anda dan memberi selamat kepada Anda atas aktivitas Anda yang serius dalam memajukan dakwah ini.
Pertanyaan saya adalah tentang ayat 102 dari surat al-Baqarah. Karena ayat tersebut panjang maka saya tidak menuliskannya ulang. Dan saya akan bertanya tentang kandungan ayat ini berupa perkara-perkara berikut:
a- Apakah Harut dan Marut adalah malaikat? Ataukah manusia yang memiliki sifat-sifat malaikat? Ada syaikh yang mengatakan bahwa menurut apa yang ditunjukkan oleh bahasa Arab bahwa keduanya adalah manusia yang memiliki ilmu yang banyak. Seandainya keduanya adalah malaikat lalu bagaimana mereka berkomunikasi dengan manusia pada waktu itu?
b- Ayat tersebut mengatakan:
﴿وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ﴾
“Hanya setan-setan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Apa yang dibawa oleh Harut dan Marut, atau apa yang diturunkan kepada keduanya?
c- Firman Allah SWT:
﴿وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ﴾
“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Apakah bisa kita katakan bahwa kedua malaikat ini diutus dari langit untuk mengajarkan sihir kepada manusia?
[Ustadhi Kamsokole]
Jawab:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Jawaban pertanyaan-pertanyaan Anda telah disebutkan di buku at-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr – Tafsîr Sûrah al-Baqarah, hal itu tafsir untuk ayat 101-103, dan jika buku itu belum ada pada Anda maka saya kutipkan di bawah ini:
Buku Tafsîr Sûrah al-Baqarah halaman 119-125 file word:
[Tafsir firman Allah SWT: {وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُوْلٌ …… لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ} (QS al-Baqarah [2]: 101-103).
﴿وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِّنْ عِندِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (101) وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (102) وَلَوْ أَنَّهُمْ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَمَثُوبَةٌ مِّنْ عِندِ اللَّهِ خَيْرٌ ۖ لَّوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (103)﴾
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). (101) Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman as. (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman as. itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman as. tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (102) Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, (niscaya mereka akan mendapat pahala), dan sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui (103)” (TQS al-Baqarah [2]: 101-103).
Di dalam ayat-ayat ini, Allah SWT menjelaskan hal-hal berikut:
- Orang-orang Yahudi menentang Rasulullah saw dan membantah beliau dengan Taurat. Mereka bertanya kepada Rasulullah saw tentang Taurat sebagaimana mereka bertanya kepada beliau tentang nyawa (rûh), Ashhabul Kahfi dan Dzulqarnayn. Rasulullah saw menjawab mereka dengan ayat al-Quran yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau. Tambahan atas hal itu, beliau mengungkap sebagian yang mereka ubah dan ganti sebagaimana mereka mengubah rajam pezina, mengubah sifat Rasul saw yang ada di dalam Taurat dan keberadaan Rasulullah saw yang membenarkan apa yang telah dikabargembirakan di dalam Taurat. Ketika mereka menemukan bahwa berargumentasi dengan Taurat tidak berjalan sesuai keinginan mereka, maka mereka berpaling darinya dan mereka campakkan di belakang punggung mereka ﴿كَأَنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ﴾ –seolah-olah mereka tidak mengetahui– (TQS al-Baqarah [2]: 101), yakni mereka mencampakkan Taurat seolah-olah berasal dari kaum yang tidak mengimaninya dan tidak mengetahui kebenaran apa yang ada di dalamnya berupa sifat Rasulullah saw. Ini merupakan tambahan dalam keberpalingan mereka dari apa yang ada di dalam Taurat berupa bukti-bukti kenabian Rasulullah saw. Jadi itu merupakan keberpalingan berdasarkan pengetahuan dari mereka.
Ketika menjadi jelas bagi mereka kegagalan penentangan mereka kepada Rasulullah saw menggunakan Taurat, mereka mulai mencari masalah-masalah lain di sumber-sumber Taurat yang mereka gunakan membantah Rasul saw.
- Ketika Allah menurunkan kepada rasul-Nya bahwa Sulaiman as. adalah nabi.
﴿إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَىٰ وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا﴾
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman as.. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (TQS an-Nisa’ [4]: 163).
Orang-orang Yahudi berkata: “Sulaiman as. adalah tukang sihir dan bukan seorang nabi. Kemudian mereka mengumpulkan kitab-kitab yang diminta dituliskan oleh para tukang sihir dengana bantuan setan pada masa kekuasaan Sulaiman as. dan yang tersebar di tengah mereka di kota Rasul saw. Mereka berkata, ini adalah kitab-kitab yang digunakan memerintah oleh Sulaiman as.. Mereka mengikutinya dan menjadikannya sebagai topik perdebatan dengan Rasul saw.
﴿وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ﴾
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman as.” (TQS al-Baqarah [2]: 101).
Firman Allah SWT ﴿مَا تَتْلُوْا الشَّيَاطِيْنُ﴾ –apa yang dibacakan oleh setan-setan– yakni apa yang dibaca oleh setan atau dibisikkan oleh setan kepada tukang sihir agar mereka tulis di kitab-kitab mereka.
﴿يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا﴾
“Sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (TQS al-An’am [6]: 112).
Setan pada masa sebelum Islam bisa mencuri informasi dari langit dan mencampurnya dengan berbagai jenis kedustaan dari mereka sendiri dan mereka bisikkan kepada wali-wali mereka.
فَيَسْتَخْبِرُ بَعْضُ أَهْلِ السَّمَاوَاتِ بَعْضًا حَتَّى يَبْلُغَ الْخَبَرُ هَذِهِ السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَخْطَفُ الْجِنُّ السَّمْعَ فَيَقْذِفُوْنَ إِلَى أَوْلِيَائِهِمْ وَيُرْمَوْنَ بِهِ فَمَا جَاءُوْا بِهِ عَلَى وَجْهِهِ فَهُوَ حَقٌّ وَلَكِنَّهُمْ يَقْرِفُوْنَ فِيْهِ وَيَزِيْدُوْنَ
“Sebagian penduduk langit meminta berita kepada sebagian yang lain hingga berita itu sampai ke langit dunia lalu jin mencuri dengar dan mereka sampaikan kepada wali-wali mereka dan mereka lemparkan. Apa yang mereka bawa sebagaimana mestinya adalah benar, tetapi mereka mencampurnya dan menambah-nambahinya”.[1]
Jin dihalangi untuk mencuri dengar setelah Islam.
﴿وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدًا﴾
“Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (TQS al-Jinn [72]: 9).
Firman Allah SWT ﴿عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ﴾ yakni pada masa kekuasaan Sulaiman as..
- Kitab-kitab sihir itu telah ditulis oleh para tukang sihir dari dua jalur:
Pertama, sihir yang dibisikkan kepada mereka oleh setan.
Kedua, apa yang diajarkan oleh dua malaikat Harut dan Marut kepada manusia. Allah SWT telah menurunkan keduanya di Babilonia mengajarkan sihir kepada manusia dan memperingatkan manusia dari melakukan sihir dan memberitahu manusia bahwa keduanya merupakan fitnah (ujian) dan cobaan untuk manusia.
﴿وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ﴾
“Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Dan Allah SWT menurunkan kebaikan dan keburukan di bumi untuk menguji hamba-hambanya dengan kebaikan dan keburukan.
﴿وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً﴾
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (TQS al-Anbiya’ [21]: 35).
Pengajaran sihir kepada manusia merupakan ujian bagi mereka. Siapa yang mengimani sihir dan melakukannya maka dia kafir. Sedangkan siapa yang tidak mengimani sihir dan tidak melakukannya maka dia sungguh selamat.
﴿ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ﴾
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (TQS al-Baqarah [2]: 102).
- Allah SWT membebaskan nabi-Nya, yakni Sulaiman as. dari kedustaan dan kebohongan yang dibuat-buat oleh orang-orang Yahudi. Sulaiman as. tidak kafir. Pernyataan itu di sini untuk menunjukkan bahwa Sulaiman as. bukan tukang sihir dan tidak mengimani sihir sehingga dia bukan orang kafir. Jadi Sulaiman as. adalah Nabi Allah ﴿وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ﴾ –dan Sulaiman as. tidaklah kafir– yakni Sulaiman as. bukan tukang sihir dan tidak mengimani sihir sehingga kafir.[2] Dalalah (konotasi) ini sudah tertentu sebab orang-orang Yahudi menuduh Sulaiman as. dengan sihir: “Ibnu Jarir telah mengeluarkan dari Syahr bin Hawsyab, dia berkata: “Orang-orang Yahudi berkata: “lihatlah kepada Muhammad, dia mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan, dia menyebut Sulaiman as. bersama para nabi, padahal tidak lain Sulaiman as. adalah tukang sihir yang menunggangi angin”.[3] Padahal Sulaiman as. bukanlah kafir. Maka Allah SWT menjawab mereka ﴿وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ﴾ yakni Sulaiman as. tidak melakukan sihir. Tetapi penggunaan secara majaz lafazh ﴿كَفَرَ﴾ di ayat ini menunjukkan bahwa siapa yang mengimani sihir dan melakukan sihir maka dia kafir, sesuai hubungan al-musabbabiyah, menurut bahasa arab sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Begitulah, Sulaiman as. tidaklah kafir. Melainkan yang kafir adalah setan.
﴿وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ﴾
“Padahal Sulaiman as. tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. (TQS al-Baqarah [2]: 102).
- Sihir adalah menampakkan sesuatu tidak sesuai hakikatnya sebagai ilusi. Makna ini datang dari firman Allah SWT:
﴿سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ﴾
“Mereka menyulap mata orang” (TQS al-A’raf [7]: 116).
﴿يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ﴾
“Terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (TQS Thaha [20]: 66).
Yakni bahwa tongkat tetaplah tongkat menurut hakikatnya tetapi tampak bagi orang yang melihatnya sebagai ular yang hidup merayap.
Di dalam bahasa, al-Jawhari berkata: “sihir adalah al-akhdzu (pengambilan) dan setiap yang pengambilannya lembut dan samar adalah sihir. Dikatakan, saharta ash-shabiy jika anda menipunya. Sihir dinyatakan di sebagian diwan arab dengan makna al-‘idhdhah. Dan al-‘idhdhah menurut orang arab adalah syiddatu al-buhti (kuatnya kebohongan) dan tamwîh al-kadzib (menyamarkan kebohongan). Seorang penyair berkata:
أَعُوْذُ بِرَبِّيْ مِنَ النَّافِثَاتِ مِنْ عِضَّةِ الْعَاضَةِ الْمُعِضَّةِ
Saya berlindung kepada Rabbku dari orang-orang yang meniupkan
Dari kuatnya kebohongan yang samar menyamarkan
Orang arab juga menggunakan kata as-sihr dalam makna al-khafâ` (tersembunyi). Sebab tukang sihir melakukannya secara sembunyi. Adapun apa substansi sihir, itu adalah ilmu yang pemilik sihir bisa mengelabuhi mata orang-orang sehingga sesuatu dilihat tidak pada hakikatnya (bukan senyatanya). Artinya, hakikat itu tidak berubah menjadi hakikat baru yang lain, dengan makna sihir itu tidak menghapuskan hakikat yang pertama dan terbentuk hakikat baru penggantinya. Atas dasar itu, seandainya seseorang memegang ular yang terlihat dari tongkat maka dia akan mendapatinya tongkat. Dan seandainya dia mengujinya di laboratorium, dia akan mendapatinya tersusun dengan penyusun tongkat itu sendiri yang dilemparkan dan dikhayalkan kepada kita bahwa itu ular yang berjalan. Oleh karena itu, para tukang sihir ketika mereka melemparkan tongkat mereka itu, mereka tetap melihatnya tongkat tetapi mereka menyihir mata orang-orang sehingga orang-orang melihatnya ular. Maka ketika Musa as. Melemparkan tongkatnya yang mereka lihat sebagai ular yang hakiki dan bukan tongkat kemudian menelan tongkat-tongkat mereka dan menghilangkan hakikatnya secara final, maka mereka paham bahwa ini bukanlah sihir, sebab sihir tidak menghilangkan hakikat sesuatu. Maka mereka mengetahui bahwa apa yang terjadi itu bukanlah sihir dan bahwa itu merupakan kebenaran yang datangd ari Rabb semesta alam sebagaimana yang dikatakan oleh Musa as., sehingga mereka pun beriman dan keimanan mereka sungguh menakjubkan.
- Firman Allah SWT:
﴿وَاتَّبَعثوْا مَا تَتْلُوْا الشَّيَاطِيْنُ﴾
“Mereka mengikuti apa yang dibacakan oleh setan-setan”.
Dan firman Allah SWT:
﴿ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ﴾
“Hanya setan-setan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Ini menunjukkan bahwa sihir itu dilakukan dengan membaca kalam (ucapan) kufur. Ini berarti bahwa sihir yang merupakan ilmu itu pelaksanaannya dengan menggunakan lafal-lafal kufur dalam mantera-manteranya atau pelaksanaannya. Adapun selain itu, maka tidak disebut sihir dengan makna yang sudah diketahui dalam ayat ini, misalnya menampakkan perkara tidak pada hakikatnya dengan wasilah-wasilah teknik -seperti kecepatan tangan atau semacamnya- atau menggunakan sebagian ucapan menggunakan lafal-lafal yang bukan lafal kufur untuk memasukkan kerancuan pada orang dengan menampakkan perkara-perkara tidak pada hakikatnya -misalnya sebagian dukun yang mengurapi orang-orang lansia-, maka ini dan semisalnya bukanlah sihir dengan makna yang telah disebutkan.
- Hukuman tukang sihir sebagaimana yang telah kami jelaskan adalah hukuman orang murtad. Dia adalah kafir menurut makna yang telah disebutkan sebelumnya. Para shahabat menghukum tukang sihir dengan hukuman bunuh. Hafshah Ummul Mukminin ra. memerintahkan agar tukang sihir yang telah mengaku melakukan sihir dibunuh.
Adapun yang diriwayatkan tentang pengingkaran Utsman bin Affan ra. terhadap Hafshah ra. atas apa yang dilakukan maka itu merupakan pengingkaran terhadap Hafshah ra. karena melakukan perkara itu tanpa izinnya padahal ia adalah khalifah kaum Muslim. Utsman ra. tidak mengingkari hukuman bunuh itu. Perbuatan semisal itu yakni dibunuhnya tukang sihir telah dilakukan pada masa Umar ra. Jadi itu merupakan Ijmak Shahabat sebab itu merupakan hukuman yang serius yang dilakukan di depan mereka tanpa ada pengingkaran. Imam Ahmad telah mengeluarkan dari Sufyan dari jalur Jaz`u bin Muawiyah pamannya Ahnaf bin Qays yang berkata:
أَتَانَا كِتَابُ عُمَرٍ قَبْلَ مَوْتِهِ بِسَنَةٍ أَنْ اُقْتُلُوْا كُلَّ سَاحِرٍ وَرُبَمَا قَالَ سُفْيَانُ وَسَاحِرَةٍ
“Telah sampai kepada kami surat Umar setahun sebelum kematiannya agar “bunuhlah setiap tukang sihir laki-laki” dan mungkin Sufyan berkata “dan setiap tukang sihir perempuan”.
Adapun apa yang kami sebutkan berupa aktifitas-aktifitas seni tersembunyi yang dengannya orang terkelabuhi jika tidak dijelaskan kepada mereka, serta kebohongan dan sulap para syaikh maka pelakunya akan dikenai sanksi ta’zir sesuai dharar yang ditimpakan terhadap orang yang tertipu oleh mereka di antara mereka yang bermuamalah dengan para syaikh itu. Sudah diketahui bersama bahwa sanksi ta’zir di dalam Islam bisa sampai pada hukuman dibunuh sesuai jenis kejahatan yang dilakukan.
Tetapi, perbedaan antara hukuman dibunuh dalam bentuk hadd dan hukuman dibunuh dalam bantuk ta’zir, bahwa hukuman dibunuh dalam bentuk hadd adalah hadd murtad yang orangnya tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslim. Sedangkan yang kedua yakni hukuman dibunuh dalam bentuk hukuman ta’zir maka dia adalah muslim yang fasiq atau fajir sesuai jenis kejahatannya, yang mana dia dishalatkan dan dikubur di pekuburan kaum Muslim.
8- Firman Allah SWT:
﴿فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ﴾
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah” (TQS al-Baqarah [2]: 101).
Allah SWT menjelaskan bahwa orang-orang yang mempelajari sihir dan melakukan sihir, mereka dengan itu dapat melakukan tindakan-tindakan kepada orang-orang yang bermuamalah dengan mereka yang menimbulkan masalah-masalah di antara mereka dan di antara isteri-isteri mereka sehingga menyebabkan talak dan perpisahan. Kemudian Allah SWT menjelaskan perkara yang bersifat keyakinan penting untuk menghilangkan pemahaman yang dapat masuk ke dalam pemahaman orang bahwa tukang sihir memiliki kemampuan Allah SWT atau dapat mengadakan perkara-perkara lepas dari kehendak Allah SWT. Maka dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa tidak ada terjadi sesuatupun di dalam kekuasaan Allah SWT kecuali dengan izin-Nya, yakni tidak sesuai kehendak-Nya. Makna ini adalah makna kehendak Allah atau yang disebut iradah Allah. Jadi tidak akan terjadi sesuatu pun di kerajaan (kekuasaan) Allah lepas dari-Nya, yakni semua terjadi dengan izin dan kehendak Allah SWT atau iradah Allah SWT.
﴿وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ﴾
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam” (TQS at-Takwir [81]: 29).
Ini tidak bermakna, bahwa hal itu terjadi dengan keridhaan-Nya, sebab Allah tidak meridhai kekufuran dan kemaksiyatan.
﴿إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ﴾
“Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya” (TQS az-Zumar [38]: 7).
Melainkan istilah tersebut memiliki makna ini dari berpikir secara induksi terhadap nas-nas. Izin, kehendak atau iradah Allah itu tidak ditafsirkan dari hakikat lughawiyah (makna secara bahasa) dari mengizinkan, menghendaki atau menginginkan secara bahasa dan yang berarti toleransi dilakukannya sesuatu atau meminta sesuatu atau ridha terhadapnya. Tetapi ditafsirkan dengan dalalah istilahiyah (makna secara istilah) seperti hakikat ‘urfiyah (makna konvensional) pada ahli bahasa, ahli fikih, ahli ushul atau ilmu lainnya.
Firman Allah ﴿بِإِذْنِ اللهِ﴾ konotasinya agung dalam topik ini. Apa yang tampak dari aktifitas-aktifitas tukang sihir di depan orang-orang dari sisi menyihir mata manusia dan menampakkan beberapa perkara tidak pada hakikatnya, kadang kala dirancukan bahwa mereka (tukang sihir) dapat menciptakan seperti Allah SWT atau melakukan perkara-perkara yang tidak bisa dibatalkan oleh Allah. Maka Allah SWT menegaskan bahwa hal itu tidak terjadi kecuali dengan izin-Nya yakni tidak terlepas dari-Nya melainkan dengan keinginan dan kehendak-Nya dengan makna ini, dan bahwa Allah SWT mampu membatalkan sihir mereka sehingga tidak terjadi sesuatu pun di kerajaan (kekuasaan) Allah SWT yang terlepas dari-Nya.
Di sini boleh jadi ada yang mengatakan: lalu kenapa Allah tidak membatalkan sihir mereka?!
Sesungguhnya Allah SWT telah menjelaskan kebaikan dan keburukan. Allah SWT telah menjelaskan untuk kita bahwa kebaikan itu diberi ganjaran dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan. Kemudian Allah SWT menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT dapat membuat kita sebagai satu umat dalam kebaiikan atau keburukan.
﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ﴾
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (TQS Hud [11]: 118).
Tetapi Allah SWT karena hikmah yang Dia ketahui, membiarkan kita memilih apa yang kita inginkan berupa keburukan atau kebaikan dan Allah SWT memberikan balasan atas keduanya, sehingga sebagian masuk surga dan sebagian masuk neraka.
﴿وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَٰكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ﴾
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk, akan tetapi telah tetaplah perkataan dari pada-Ku: “Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (TQS as-Sajadah [32]: 13).
Oleh karena itu tidak ada ruang untuk pertanyaan, kenapa Allah tidak membatalkan sihir yang buruk itu? Atau kenapa Allah tidak mendorong kita kepada kebaikan dalam segala perkara kita? Atau kenapa Allah SWT tidak mencegah kita dari melakukan keburukan sehingga kita hanya melakukan kebaikan? … Allah SWT telah menjelaskan kepada kita kebaikan dan keburukan dan membiarkan kita memilih, dan itu merupakan hikmah Allah SWT.
﴿لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ﴾
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (TQS al-Anbiya’ [21]: 23).
Tetapi kita dalam semua keadaan wajib berkeyakinan bahwa di dalam kerajaan Allah tidak akan terjadi sesuatu pun yang di luar kehendak Allah SWT tetapi semuanya terjadi dengan izin-Nya, keinginan-Nya dan kehendak-Nya SWT.
- Firman Allah SWT:
﴿وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ﴾
“Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Ini berarti bahwa apa saja yang ada di dalam sihir itu adalah buruk. Ini merupakan sifat untuk apa yang mereka pelajari yaitu sihir.
﴿يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ﴾
“Mereka mengajarkan sihir kepada manusia” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Sifat ini memiliki dalalah -konotasi- yang jelas bahwa apa yang mereka pelajari justru memudharatkan mereka dan tidak memberi manfaat mereka. Jadi sihir semuanya adalah buruk dan dharar serta tidak ada manfaat di dalamnya.
Kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa orang yang melakukan sihir menurut apa yang telah kami jelaskan sebelumnya tidak ada bagian baginya di akhirat sebab dia adalah kafir kepada Allah SWT dan ayat-ayat-Nya.
Firman Allah SWT ﴿اِشْتَرَاهُ﴾ yakni yang mereka beli. Lafal ini di sini merupakan penggunaan secara majaz yakni menjadikannya sebagai profesi. Membeli sesuatu itu merupakan tuntutan untuk memanfaatkannya dengan mengkonsumsi barangnya atau mengambil kompensasi darinya. Dan itu di sini adalah mengambil sihir sebagai profesi yang melimpahruahkan pendapatan padanya (manfaat menurut dugaannya) seolah-olah dia membeli sihir.
Firman Allah SWT:
﴿وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ﴾
“Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Merupakan khabar dalam makna thalab at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan), yakni dalam makna larangan tegas dari melakukan sihir.
Firman Allah SWT:
﴿وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ﴾
“Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Yakni amat buruklah perbuatan mereka menjual diri mereka sendiri. Sebab mereka menawarkan diri mereka sendiri untuk sanksi Allah dan mereka menukarnya dengan imbalan neraka jahannam.
﴿مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ﴾
“Tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Imbalan yang disiapkan untuk mereka kompensasi dari diri mereka yang mereka jual dan mereka tukarkan dalam sihir, imbalan ini adalah kemurkaan Allah, azabNya dan neraka jahannam. Dan itu sungguh merupakan jual beli yang buruk dan merugi.
Firman Allah SWT:
﴿لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ﴾
“Kalau mereka mengetahui” (TQS al-Baqarah [2]: 102).
Yakni seandainya mereka dapat mengambil manfaat apa yang mereka ketahui sebab orang yang mengetahui suatu pengetahuan dan tidak bisa memanfaatkannya dan tidak berpegang kepada dalalah (konotasi) apa yang dia ketahui, seolah-olah dia tidak mengetahui. Siapa yang mengetahui bahwa sihir itu akibatnya adalah keburukan dan penyesalan kemudian dia melakukannya maka seolah-olah dia tida mengetahui hal itu. Ini termasuk ungkapan yang kuat dalam dalalahnya (konotasinya) terhadap topiknya. Sungguh Mahasuci Allah SWT!
Rasulullah saw berlindung kepada Allah SWT dari ilmu yang tidak bermanfaat.
«أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَقَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَعَيْنٍ لاَ تَدْمَعُ»
“Aku berlindung kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’ dan mata yang tidak bisa menangis” (HR Ahmad).
Penggunaan ini kuat sekali seperti yang telah kami katakan. Dan itu di dalam Kitabullah di selain tempat ini. Sebagaimana hal itu digunakan dalam dalalah-dalalah lainnya.
﴿أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ﴾
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (TQS al-Hajj [22]: 46).
﴿صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ ﴾
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” (TQS al-Baqarah [2]: 171).
Jadi orang yang tidak memanfaatkan pendengarannya seolah-olah dia tidak bisa mendengar.
Orang yang tidak memanfaat penglihatannya seolah-olah dia tidak bisa melihat.
Orang yang tidka memanfaatkan mulutnya seolah-olah dia tidak bisa berbicara.
Dan orang yang tidak memanfaatkan akalnya seolah-olah dia tidak berakal.
Dan orang yang tidak memanfaatkan ilmunya seolah-olah dia tidak mengetahui], selesai.
Dan di dalam ini ada kecukupan jika Allah menghendaki.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
18 Ramadhan 1444 H
09 April 2023 M
https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/88113.html
https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/776448380709200
[1] Dikeluarkan oleh imam Ahmad. Makna yaqrifûna adalah mereka mencampurkan kedustaan di dalamnya.
[2] Ini merupakan penggunaan secara majaz dengan hubungan al-musabbabiyah (menyatakan musabab untuk menunjukkan sebab). Sihir addalah sebab kekafiran.
[3] Tafsîr ath-Thabarî, I/451